Bab I
Pendahuluan
I.1 Latar Belakang
Nyeri dan inflamasi
merupakan gejala dan tanda yang umum dijumpai pada berbagai penyakit. Mekanisme
timbul nya nyeri atau proses inflamasi telah cukup dalam diketahui dan diikuti
pula oleh berkembangnya berbagai pengobatan untuk mengatasi manifestasi
tersebut. Tidak jarang nyeri sangat mengganggu dan bahkan menyebabkan rasa
frustrasi karena intensitas nyerinya ataupun kronisitasnya. dalam mengatasi
rasa nyeri dan proses keradangan, yaitu melalui istirahat, proteksi sendi,
fisioterapi / rehabilitasi medik, penggunaan alat bantu, psikoterapi,
pembedahan, dan pemakaian obat-obatan.
Toksikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari
efek merugikan dari bahan kimia terhadap organisme hidup. Potensi efek
merugikan yang ditimbulkan oleh bahan kimia di lingkungan sangat beragam dan
bervariasi sehingga ahli toksikologi mempunyai
spesialis kerja bidang tertentu.
Efek merugikan/ toksik pada sistem
biologis dapat disebabkan oleh bahan kimia yang mengalami biotransformasi dan
dosis serta susunannya cocok untuk menimbulkan keadaan toksik. Respon terhadap bahan toksik tersebut antara lain tergantung
kepada sifat fisik dan kimia, situasi paparan, kerentanan sistem biologis, sehingga
bila ingin mengklasifiksikan toksisitas suatu bahan harus mengetahui macam efek
yang timbul dan dosis yang dibutuhkan serta keterangan mengenai paparan dan
sasarannya.
Perbandingan dosis lethal suatu
bahan polutan dan perbedaan jalan masuk dari paparan sangat bermanfaat
berkaitan dengan absorbsinya. Suatu bahan polutan dapat diberikan dalam dosis
yang sama tetapi cara masuknya berbeda. Misalnya bahan polutan pertama melalui
intravena, sedangkan bahan lainnya melalui oral, maka dapat diperkirakan bahwa
bahan polutan yang masuk melalui intravena memberi reaksi cepat dan segera.
Sebaliknya bila dosis yang diberikan berbeda maka dapat diperkirakan
absorbsinya berbeda pula, misalnya suatu bahan masuk kulit dengan dosis lebih
tinggi sedangkan lainnya melalui mulut dengan dosis yang lebih rendah maka,
dapat diperkirakan kulit lebih tahan terhadap racun
sehingga suatu bahan polutan untuk dapat diserap melalui kulit diperlukan dosis tinggi.
I.2 Rumusan Masalah
- Apa
itu NSAID?
- Bagaimana
mekanisme kerja NSAID?
- Apa
sajakah yang termasuk penggolongan NSAID?
- Bagaimana
tanda dan gejala toksisitas NSAID?
I.3 Tujuan
- Menjelaskan
pengertian dari NSAID.
- Menjelaskan
mekanisme dari NSAID.
- Menjelaskan
tentang penggolongan NSAID.
- Menjelaskan tanda dan gejala toksisitas NSAID.
Bab
II
Tinjauan
Pustaka
II.1 Definisi NSAID
Non Steroidal Anti-Inflammatory Drugs (NSAID) adalah golongan obat anti inflamasi yang tidak termasuk golongan
steroid. Obat-obat jenis ini memiliki beragam jenis sediaan dan formulasi kimia
dan secara khusus memiliki suatu kesamaan satu sama lain yaitu efek samping dan
efek terapinya berhubungan dengan mekanisme
kerja sediaan ini
pada enzim cyclooxygenase (COX). NSAID telah secara luas digunakan pada dunia medis lewat
kemampuannya secara efektif mengurangi
nyeri dengan intensitas
ringan sampai sedang.
NSAID memiliki efek analgesik pada nyeri yang berasal dari integument
bukan yang berasal dari viscera, seperti
sakit kepala, myalgia dan abralgia. Penggunaan NSAID sebagai
analgesik bersifat simptomatik sehingga jika simptom sudah hilang, pemberiannya
harus dihentikan.
II.2 Mekanisme
NSAID
NSAID menghambat enzim
cyclooxygenase (COX) sehingga konversi asam arakidonat
menjadi prostaglandin terganggu.
Setiap obat menghambat
cyclooxysigenase dengan cara yang berbeda. Enzim cyclooxygenase terdapat dalam
2 isoform disebut COX-1 dan COX-2. Secara garis besar COX-1 dalam pemeliharaan
berbagai fungsi dalam kondisi normal di berbagai jaringan khususnya ginjal,
saluran cerna dan trombosit. Di mukosa lambung, aktivitas COX-1 menghasilkan
prostasiklin yang bersifat sitoprotektif. COX-2 semula diduga diinduksi
berbagai stimulus inflamator, termasuk sitokin, endotoksin dan factor
pertumbuhan (growth factor). Ternyata sekarang COX-2 juga mempuunyai fungsi
fisiologis,yaitu di ginjal, jaringan vaskuler dan pada proses perbaikan
jaringan.
COX-1 dianggap sebagai suatu enzim
konstitutif (permanent enzyme) dengan
prostaglandin yang diproduksi memiliki kegunaan yang sangat penting dalam
menjaga fungsi hemeostatis tubuh. COX-1 berperan penting di lambung, menjaga
aliran darah di ginjal, serta menefektifkan proses agregasi platelet. COX-2
merupakan enzim yang umumnya tidak terpantau dikebanyakan jaringan, tetapi
meningkat pada keadaan inflamasi atau patologi. COX-2 memproduksi prostaglandin
yang efeknya berujung pada suatu respon inflamasi, seperti bengkak, kemerahan
dan nyeri.
Aspirin
166 kali lebih kuat menghambat COX-1 dari pada COX-2. Penghambatan COX-2
dikembangkan dalam mencari penghambat COX untuk pengobatan inflamasi dan nyeri
yang kurang menyebabkan toksisitas saluran cerna dan perdarahan.
Parasetamol
menghambat biosintesis prostaglandin yang hanya terjadi pada lingkungan yang
kadar peroksidnya rendah, yaitu di hipotalamus. Lokasi inflamasi biasanya
mengandung banyak peroksid yang dihasilkan oleh leukosit. Ini menjelaskan
mengapa efek antiinflamasi Parasetamol praktis tidak ada.
Fenomena
inflamasi pada tingkat bioseluler semakin jelas. Respons inflamasi yang terjadi
dalam 3 fase dan diperantarai mekanisme yang berbeda ; (1) fase akut, dengan
cirri vasodilatasi lokal dan peningkatan permeabilitas kapiler; (2) reaksi
lambat, tahap subakut dengan cirri infiltrasi sel leukosit dan fagosit; dan (3)
fase proliferative kronik, saat degenerasi dan fibrosis terjadi.
Prostaglandin
yang berperan pada nyeri yang berkaitan dengan kerusakan jaringan atau
inflamasi. Penelitian telah membuktikan bahwa prostaglandin menyebabkan
sensitisasi reseptor nyeri terhadap stimulasi nyeri terhadap stimulasi mekanik
dan kimiawi. Jadi, prostaglandin menimbulkan keadaan hiperalgesia kemudian
mediator kimiawi seperti bradikinin dan histamine merangsang dan menimbulkan
nyeri yang nyata. Obat mirip-aspirin tidak mempengaruhi hiperalgesia atau nyeri
yang ditimbulkan oleh efek langsung prostaglandin. Ini menunjukkan bahwa
sintesis prostaglandin dihambat oleh obat gologan ini, dan bukannnya blockade
langsung pada reseptor.
Suhu
badan diatur oleh keseimbangan antara produksi dan hilangnya panas. Alat
pengatur suhu tubuh berada di hipotalamus. Pada keadaan demam keseimbangan ini
terganggu tetapi dapat dikembalikan ke normal oleh obat mirip-aspirin. Ada
bukti bahwa peningkatan suhu tubuh pada keadaan patologi diawali pelepasan
suatu zat pirogen endogen atau sitokin misalnya interleukin-1 (IL-1) yang
memacu pelepasan prostaglandin yang berlebihan di daerah hipotalamus.
II.3 Penggolongan NSAID
a)
Golongan
Para Aminofenol
Derivat
Para Amino Fenol yaitu Fenasetin dan Asetaminofen. Asetaminofen (Parasetamol)
merupakan metabolit Fenasetin dengan efek antipiretik yang sanma dan telah
digunakan sejak tahun 1893. Efek antipiretik ditimbulkan oleh gugus aminobenzen.
Fenasetin tidak lagi digunakan dalam pengobatan karena penggunaannya dikaitkan
dengan dengan terjadinya analgetik nefropati, anemia hemolitik dan mungkin
kanker kandung kemih. Asetaminofen di Indonesia lebih dikenal dengan nama
Parasetamol, dan tersedia sebagai obat bebas. Walau demikian,laporan
kerusakan hepar perlu diperhatikan.
Turunan
Para Aminofenol ini mempunyai efek analgesik dan antipiretik sama kuat dengan
Asetosal khususnnya Asetaminofen dan
Fenasetin. Tetapi efek anti inflamasinya sangat lemah. Obat ini dianggap paling
aman karena tidak menyebabkan iritasi lambung yang hebat jika di konsumsi. Di
Indonesia pemakaian Paracetamol semakin banyak digunakan sebagai obat analgesik
dan antipiretik. Penggunaannya menggantikan Salisilat. Parasetamol sebaiknya
tidak digunakan terlalu lama karena dapat menimbulkan nerfopati analgesik.
Toksisitas :
Akibat
dosis toksik dari Parasetamol dapat mengakibatkan nekrosis hati. Nekrosis
tubuli renalis serta koma hipoglikemik dapat juga terjadi.
Gejala
pada hari pertama keracunan akut Parasetamol belum mencerminkan bahaya yang
mengancam. Anoreksia, mual dan muntah serta sakit perut terjadi dalam 24 jam
pertama dapat berlangsung selama seminggu atau lebih.
Gangguan
hepar dapat terjadi pada hari kedua, dengan gejala peningkatan aktivitas serum
transaminase, laktat dehidrogenase, kadar bilirubin serum serta pemanjangan
masa protrombin. Aktivitas alkil fosfatase dan kadar albumin serum tetap
normal. Kerusakan hati dapat mengakibatkan ensefalopati, koma dan kematian.
Kerusakan hati yang berat pulih dalam beberapa minggu sampai beberapa
bulan.
Dosis Toksik :
Parasetamol
dosis 140 mg/kg pada anak-anak dan 6 g pada orang dewasa berpotensi
hepatotoksik. Dosis 4 g pada anak-anak dan 15 g pada dewasa dapat menyebabkan hepatotoksitas
berat sehingga terjadi nekrosis sentrolobuler hati. Dosis lebih dari 20 g
bersifat fatal. Pada alkoholisme, penderita yang mengkonsumsi obat-obat yang
menginduksi enzim hati, kerusakan hati lebih berat, hepatotoksik meningkat
karena produksi metabolit meningkat.
Penanganan :
- Arang
Aktif
Pengobatan
dini dan evaluasi yang cermat dari riwayat klinis merupakan sangat penting
dalam pengobatan. Arang aktif bermanfaat jika diberikan kepada seseorang yang
keracunan dalam waktu 1-2 jam. Tingkat
Acetaminophen diperoleh saat 4 jam dapat menentukan tindak lanjut pengobatan
dengan obat penawar. Pada 8 jam setelah dikonsumsi, arang aktif, muntah, atau
membersihkan lambung tidak diperlukan.
- N-Asetilsistein
(NAC)
N-Asetilsistein (NAC) adalah penawar untuk keracunan
Acetaminophen. Dalam konversi sistein, NAC mengembalikan cadangan glutathione
dengan menyediakan sulfhydril untuk detoksifikasi akhirnya NAPQI. Selain itu,
NAC meningkatkan sulfat konjugasi, sehingga mencegah produksi NAPQI berlebih.
NAC juga bertindak sebagai antioksidan, meningkatkan pemanfaatan oksigen; efek
ini mungkin bermanfaat pada pasien dengan gagal hati.
NAC diberikan secara peroral. NAC harus diberikan
dalam waktu 8 jam dan setiap kali konsentrasi Acetaminophen berpotensi toksik.
Perlindungan terhadap hepatotoksisitas adalah 100% dalam waktu 8 jam. Khasiat
menurun, bila diberikan melampaui 8 jam, walaupun terapi NAC dapat bermanfaat
bahkan selama 36 jam.
Jika pasien
muntah dalam 1 jam pengobatan, maka dosis diulang. Antiemetik, seperti metoclopramide
dapat membantu dalam mempertahankan NAC. Diantara efek samping yang mungkin
terkait dengan dosis besar NAC adalah hipersensitivitas, gangguan pencernaan,
urtikaria, pruritus, angioedema, bronkospasme, takikardia, dan hipotensi.
Sebagian besar reaksi serius dianggap berasal dari pemberian melalui iv.
b)
Golongan
Salisilat
Asam
Asetil Salisilat atau asetosal adalah golongan yang banyak digunakan oleh
masyarakat. Salisilat dapat menghilangkan nyeri ringan sampai sedang, seperti
sakit kepala, nyeri otot, dan nyeri sendi. Obat ini dapat menghilangkan rasa
nyeri secara perifer melalui penghambatan pembentukan prostaglandin di tempat
inflamasi. Obat golongan salisilat ini juga mampu menurunkan suhu tubuh dengan
cepat dan efektif. Efek penurunan suhu tubuh yang dilakukan obat ini terjadi
karena adanya penghambatan pembentukan prostaglandin di hipotalamus. Penurunan
panas ini juga didukung dengan mengalirnya aliran darah ke perifer dan
pembentukan keringat. Salilsilat bermanfaat untuk mengobati nyeri yang tidak
spesifik misalnya sakit kepala, nyeri sendi, nyeri haid, mialgia,dan neuralgia.
Dosis Toksik :
Pada dosis 150-200 mg /kg BB dapat
terjadi Intoksikasi akut sedang, dan dosis 300-500 mg/kg BB akan menyebabkan
intoksikasi berat.
Intoksikasi kronik dapat terjadi pada
pemberian dosis lebih dari 100 mg/kg BB selama 2 hari atau lebih.
Toksisitas :
Salisilat menyebabkan efek toksik yang
bervariasi, dari intoksikasi sedang sampai berat. Gejala intoksikasi salisilat
bergantung pada penggunaan akut atau kronik. Biasanya intoksikasi terjadi pada
pemberian dosis besar yang berulangkali.
Gejala klinik :
1. Intoksikasi akut : nausea dan vomitus
yang timbul segera setelah termakan, diikuti dengan hiperpnea, tinnitus,
ketulian dan letargi. Gejala Intoksikasi berat : koma , kejang, hipoglikemi,
hiper-termi bahkan edema pulmonal, perdarahan pulmonal, ARF, oliguria. Edema
serebral dan pulmonal lebih sering terjadi pada intoksikasi akut. Dapat terjadi
kematian akibat kegagalan saraf pusat dan kolaps kardiovaskuler.
2. Intoksikasi kronik. Korban umumnya anak
kecil dapat pula dewasa muda. Diagnosis sering terlewat karena gejala tidak
spesifik seperti bingung, dehidrasi dan metabolik asidosis menyerupai sepsis,
pneumonia dan gastroenteritis. Mortalitas dan morbiditas lebih tinggi dari pada
intoksikasi akut. Keracunan berat dapat timbul pada kadar salisilat yang lebih
rendah.
Penanganan :
a. Keadaan darurat :
1. Pertahankan jalan nafas dan respirasi,
bila perlu oksigen. Pemeriksaan gas darah arteri dan X-ray untuk memantau
adanya edema pulmonal.
2. Tangani koma, kejang, edema pulmonal
dan hipertermi jika terjadi.
3. Terapi asidosis metabolik dengan infus
sodium bikarbonat intravena. Pemberian infus di stop jika pH darah < 7,4
Ganti kekurangan cairan dan elektrolit akibat muntah dan hiperventilasi dengan
cairan kristaloid intravena. Hati-hati jangan sampai terjadi edema pulmonal.
4. Monitor penderita asimptomatis minimum
dalam 6 jam (atau lebih lama terutama jika disebabkan oleh tablet salut enterik
atau dosis besar). Penderita dengan gejala intoksikasi sebaik-nya dimasukkan
dalam ICU
b.
Antidotum
dan obat khusus :
Antidotum
spesifik tidak ada. Dapat diberikan sodium bikarbonat untuk mencegah terjadinya
asidemia dan untuk meningkatkan eliminasi melalui ginjal.
c.
Dekontaminasi
:
Dekontaminasi tidak diperlukan pada
penderita intoksikasi kronik.
1. Sebelum RS : beri karbon aktif (dewasa
: 50-100 g; anak-anak 15-30 g / 1g/KBB), Ipekak (15 – 30 ml) untuk menginduksi
muntah, sebagai terapi awal pada anak-anak terutama diberikan dalam 30 menit
setelah paparan.
2. RS : beri karbon aktif dan katartik
secara oral atau dengan gastric tube/lavage. Jika dosis <200-300
mg/KBB dan telah diberi karbon aktif tidak perlu dilakukan bilas lambung.
3. Catatan : Dosis salisilat yang sangat
besar (30-60 g), memerlukan dosis aktif karbon sangat besar untuk mengabsorpsi
salisilat dan mencegah desorpsi. Pada kasus demikian perlu aktif karbon 25-50 g
tiap 3-5 jam. Pemberian karbon aktif harus diteruskan sampai kadar salisilat
dalam serum benar-benar turun.
c)
Golongan
Pirazolon
Turunan
pirazolon terdiri atas fenilbutazon, dipiron, antipirin, apazon, aminopirin,
dan oksifenbutazon. Semua derivate pirazolon dapat menyebabkan agranulositosis,
anemia aplastis dan trombositopenia. Antipirin dan aminopirin tidak digunakan
lagi karena efek toksiknya melebihi dipiron. Aminopirin tidak lagi diizikan
beredar di Indonesia sejak 1977 atas dasar kemungkinan membentuk nitrosamine
yang bersifat karsinogenik.
Dengan
adanya NSAID yang lebih aman, fenilbutazon tidak lagi dianjurkan untuk
digunakan sebagai antiinflamasi kecuali obat lain tidak efektif.
Toksisitas :
Fenilbutazon dapat menimbulkan koma, trismus, kejang tonik dan klonik, syok, asidosis
metabolik, depresi sumsum tulang, proteinuria, hematuria, oliguria, gagal
ginjal, dan ikterushepatoselular.
d)
Analgetik
Antiinflamasi Non Steroid lainnya
·
Indometasin
Walaupun obat ini efektif tetapi karena toksik obat
ini dibatasi penggunaannya. Indometasin mempunyai efek anti inflamasi,
analgesic dan antipiretik yang kira-kira sebanding dengan Aspirin. Telah
terbukti bahwa Indometasin memiliki efek analgesic perifer maupun sentral.
Toksisitas :
Indometasin menimbulkan insidensi efek toksik yang tinggi yang berhubungan dengan dosis.
Efek terhadap saluran cerna meliputi nyeri abdomen,diare, perdarahan
saluran cerna, dan pankreatitis. Nyeri kepala yang hebat dialami oleh 20-25%
penderita dan mungkin disertai dengan pusing, bingung, dan depresi. Indometasin
juga pernahdilaporkan menyebabkan agranulositosis, anemiaaplastik, dan
trombositopenia. Vasokonstriksi pembuluh darah koroner pernah dilaporkan.
Hiperkalemia dapat terjadi akibat hambatan kuat terhadap biosintesis PG di
ginjal.
Karena toksisitasnya Indometasin tidak dianjurkan
diberikan kepada anak, wanita hamil, pasien dengan gangguan psikiatri, dan
pasien dengan penyakit lambung. Penggunaannya kini dianjurkan apabila NSAID
lain kurang berhasil. Dosis lazim Indometasin adalah 2-4 kali 25 mg sehari.
Untuk mengurangi gejala reumatik di malam hari, Indometasin diberikan 50-100 mg
sebelum tidur.
·
Ibuprofen
Ibuprofen merupakan
derivat asam fenil propionat, yang diperkenalkan pertama kali dibanyak negara.
Obat ini bersifat analgesik dengan daya anti inflamasi yang tidak terlalu kuat.
Indikasi Ibuprofen antara lain reumatik arthtritis, mengurangi rasa nyeri,
kekakuan sendi, dan pembengkakan. Efek samping terhadap saluran cerna lebih
ringan. Ibuprofen tidak dianjurkan diberikan pada ibu hamil dan menyusui. Di
Indonesia Ibuprofen dijual bebas.
Dosis Toksik :
Dosis
Ibuprofen diatas 100 mg/kg BB dapat menimbulkan toksik akut dan dosis diatas
400 mg/kg BB berpotensi menyebabkan intoksikasi serius.
Toksisitas :
·
Pada anak-anak dapat menimbulkan efek
toksik akut seperti, asidosis
metabolik, koma, syok, dan gagal ginjal akut dan efek toksik kronik,seperti nekrosis
hepatoselular, peningkatan suhu tubuh, dermatitits, dan trombositopenia.
·
Pada orang dewasa dapat menimbulkan efek
toksik akut, seperti mual, muntah,
kram perut, asidosis metabolik, sindrom stress pernapasan, trombositopenia dan
gagal ginjal.
·
Asam
Mefenamat
Mengurangi rasa nyeri/sakit dari ringan sampai
sedang pada sakit gigi, sakit telinga, nyeri otot, dismenore, nyeri setelah
melahirkan, dan nyeri trauma. Tetapi kurang efektif dibandingkan aspirin. Dosis
Asam Mefenamat adalah 2-3 kali 250-500 mg sehari. Pada orang usia lanjut efek
samping diare hebat lebih sering dilaporkan. Pada wanita hamil asam mefenamat
tidak dianjurkan digunakan selama 7 hari.
Toksisitas :
Toksisitas asam mefenamat timbul jika telah diberikan pemakaian lebih dari
7 hari akan mengakibatkan peradangan pada lambung, dan perdarahan memanjang.
Jika pemakaian dosis lebih akan mengakibatkan diare yang hebat.
·
Diklofenak
Pemakaian diklofenak harus hati-hati pada pasien
tukak lambung. Pemakaian selama kehamilan tidak dianjurkan. Dosis orang dewasa 100-150 mg sehari terbagi 2 atau
3 dosis.
Toksisitas :
Kira-kira 20% dari pasien dan meliputi distres
gastrointestinal, perdarahan gastrointestinal yang terselubung dan timbulnya
ulserasi lambung, sekalipun timbulnya ulkus lebih jarang terjadi daripada
dengan beberapa NSAID lainnya. Sebuah kombinasi antara diklofenac dan
mesoprostol mengurangi ulkus pada gastrointestinal bagian atas tetapi bisa
mengakibatkan diare. Peningkatan serum aminotrasferases lebih umum bisa terjadi
dengan obat ini dari pada dengan NSAID lainnya.
·
Piroksikam
Indikasi dari piroksikam yaitu rheumatoid arthritis
dan osteoarthritis sebagai anti inflamasi dan analgetik. Piroksikam berfungsi
hanya untuk penyakit inflamasi sendi. Pikroksikam tidak dianjurkan pada wanita
hamil, pasien tukak lambung, dan pasien yang sedang minum antikoagulan. Sejak
Juni 2007 karena efek samping serius di saluran cerna lambung dan reaksi kulit
yang hebat, oleh EMEA(badan POM se Eropa) dan pabrik penemunya, piroksikam
hanya dianjurkan penggunaannya oleh para spesialis rematologis, inipun
digunakan sebagai pengobatan lini kedua.
Toksisitas
:
Efek toksis yang
ditimbulkan dalam sistem hematologi obat ini juga dapat menyebabkan anemia yang
disebabkan bila terdapat perdarahan saluran cerna pasif, memperpanjang waktu
pendarahan, eusinopili, epistaxis, leucopenia, thrombositopenia.
Trombositopenia ini diakibatkan oleh mekanisme kerja obat yang menghambat
biosintesa prostaglandin akibatnya agregasi platelet terganggu.
·
Meloksikam
Meloksikam diberikan dengan dosis 7,5-15 mg sekali
sehari. Efektivitas dan keamanan Meloksikam dianggap sama dengan Piroksikam.
Toksisitas
:
Toksisitas obat ini muncul ketika pemakaian obat
berlebihan dan menimbulkan kerusakan pada Gastrointestinal atau terjadinya
perdarahan.
e)
Golongan
Obat Pirai (Gout)
Ada
dua kelompok obat penyakit pirai yaitu obat yang menghentikan proses inflamasi
akut dan obat yang mempengaruhi kadar asam urat. Asam urat terjadi karena
adanya reaksi inflamasi terhadap kristal asam urat yang mengendap dalam
jaringan sendi-sendi. Respon inflamasi ini melibatkan infiltrasi lokal
granulosit, yang memfagositosis kristal urat. Macam obat pirai antara lain
kolkisin, alopurinol, probenosid.
·
Kolkisin
Kolkisin efektif digunakan pada gout
akut, menghilangkan nyeri dalam waktu 48 jam pada sebagian besar pasien.
Kolkisin mengontrol gout secara efektif dan mencegah fagositosis kristal urat
oleh neutrofil, tetapi seringkali membawa efek samping, seperti nausea dan
diare.
Dosis efektif kolkisin pada pasien
dengan gout akut berhubungan dengan penyebab keluhan gastrointestinal. Obat ini
biasanya diberikan secara oral pada awal dengan dosis 1 mg, diikuti dengan 0,5
mg setiap dua jam atau dosis total 6,0 mg atau 8,0 mg telah diberikan.
Kebanyakan pasien, rasa sakit hilang 18 jam dan diare 24 jam; peradangan sendi
reda secara bertahap pada 75-80% pasien dalam waktu 48 jam. Pemberian kolkisin
dosis rendah dapat menurunkan efek samping gastro-intestinal ataupun efek
toksisitas dari kolkisin itu sendiri.
Kolkisin tidak mempengaruhi ekskresi
asam urat melalui ginjal ataupun konsentrasi asam urat dalam darah. Obat ini
diabsorbsi di saluran cerna dengan baik. Efek samping yang paling sering adalah
muntah, mual, diare. Bila efek ini terjadi, pengobatan harus dihentikan
walaupun efek terapi belum tercapai.
Toksisitas :
Kolkisin
dapat menimnulkan toksisitas seperti diare, mual, muntah, nyeri abdomen,
supresi sumsum tulang, neeuromiopati reversible, rhabdomiolisis.
·
Alopurinol
Alopurinol digunakan untuk penyakit
pirai karena menurunkan kadar asam urat. Pengobatan jangka panjang dapat
mengurangi frekuensi serangan, menghambat pembentukan tofi, memobilisasi asam
urat dan mengurangi besarnya tofi. Efek samping tersering adalah adanya raksi
kulit. Bila adanya kemerahan pada kulit, penggunaan alopurinol harus
dihentikan, karena gangguan akan menjadi berat.
Pada pasien dengan fungsi ginjal normal
dosis awal allopurinol tidak boleh melebihi 300 mg/24 jam. Pada praktisnya,
kebanyakan pasien mulai dengan dosis 100 mg/hari dan dosis disesuaikan kebutuhan. Dosis pemeliharaan umumnya 100‐600 mg/hari dan dosis
300 mg/hari menurunkan urat serum menjadi normal pada 85% pasien. Respon
terhadap allopurinol dapat dilihat sebagai penurunan kadar urat dalam serum
pada 2 hari setelah terapi dimulai dan maksimum setelah 7‐10 hari. Kadar urat
dalam serum harus dicek setelah 2‐3 minggu penggunaan allopurinol untuk
meyakinkan turunnya kadar urat.
Allopurinol dapat memperpanjang durasi
serangan akut atau mengakibatkan serangan lain sehingga allopurinol hanya
diberikan jika serangan akut telah mereda terlebih dahulu. Resiko induksi
serangan akut dapat dikurangi dengan pemberian bersama NSAID atau kolkisin (1,5
mg/hari) untuk 3 bulan pertama sebagai terapi kronik.
Toksisitas :
Toksisitas alopurinol termasuk ruam,
demam, perburukan insufisiensi ginjal, vaskulitis dan kematian. Ini lebih
banyak dijumpai pada pasien lanjut usia dengan insufisiensi ginjal dan pada
pasien yang juga menggunakan diuretik tiazid.
·
Probenesid
Probenesid adalah zat orikosurik, yang
meningkatkan ekskresi asam urat dalam ginjal melalui penghambatan reabsorbsi
asam urat pada tubuli ginjal. Secara normal, sekitar 90% urat yang terfiltrasi
di reabsorbsi, dan hanya sekitar 10% yang di ekskresi. Probenesid berefek
mencegah dan mengurangi kerusakan sendi serta pembentukan tofi pada penyakit pirai,
tidak efektif untuk mengatasi serangan akut. Efek samping probenesid tersering
adalah gangguang saluran cerna, nyeri kepala, dan reaksi alergi. Dosis lazim
Probenesid adalah 500 mg‐1g
2 kali/hari.
Probenesid harus dihindari pada pasien
dengan nefropati urat dan yang memproduksi asam urat berlebihan. Obat ini tidak
efektif pada pasien dengan fungsi ginjal yang buruk (klirens kreatinin <20‐30 mL/menit).
Toksisitas :
Sekitar 5% pasien yang menggunakan
probenesid jangka lama mengalami munal, nyeri ulu hati, kembung atau
konstipasi. Ruam pruritis ringan, demam dan gangguan ginjal juga dapat terjadi.
Salah satu kekurangan obat ini adalah
ketidakefektifannya yang disebabkan karena ketidakpatuhan pasien dalam
mengkonsumsi obat, penggunaan salisilat dosis rendah secara bersamaan atau
insufisiensi ginjal
Bab III
Kesimpulan
Definisi
NSAID adalah Non Steroidal Anti-Inflammatory Drugs (NSAID) adalah golongan obat anti inflamasi yang
tidak termasuk golongan steroid. Obat-obat jenis ini memiliki beragam jenis
sediaan dan formulasi kimia dan secara khusus memiliki suatu kesamaan satu sama
lain yaitu efek samping dan efek terapinya berhubungan dengan
mekanisme kerja sediaan
ini pada enzim
cyclooxygenase (COX).
Mekanisme NSAID menghambat
enzim cyclooxygenase (COX) sehingga konversi asam
arakidonat menjadi prostaglandin terganggu.
Setiap obat menghambat
cyclooxysigenase dengan cara yang berbeda. Enzim cyclooxygenase terdapat dalam
2 isoform disebut COX-1 dan COX-2. Secara garis besar COX-1 dalam pemeliharaan
berbagai fungsi dalam kondisi normal di berbagai jaringan khususnya ginjal,
saluran cerna dan trombosit.
Penggolongan NSAID :
1.
Golongan Para Aminofenol
2.
Golongan salisilat
3.
Golongan Pirazolon
4.
Golongan analgetik antiinflamasi non
steroid lainnya
5.
Golongan obat pirai (Gout)
Daftar Pustaka
·
Frank A.Barile.2005.Clinical Toxicology.CRC Press,New York,Washington D.C.
·
Lusiana Darsono.2007.Diagnosis dan Terapi Intoksisitas Salisilat
dan Parasetamol,vol.2.Universitas Kristen Maranatha,Bandung.
·
Annete Johnstone.2005.Gout Farmacology.(Terjemahan :Diana
Lyrawati,2008)
Comments
Post a Comment