Skip to main content

Farmasi Sosial

BAB I
            Sejak masa Hipocrates (460-370 SM) yang dikenal sebagai “Bapak Ilmu Kedokteran”, belum dikenal adanya profesi Farmasi. Seorang dokter yang mendignosis penyakit, juga sekaligus merupakan seorang “Apoteker” yang menyiapkan obat. Semakin lama masalah penyediaan obat semakin rumit, baik formula maupun pembuatannya, sehingga dibutuhkan adanya suatu keahlian tersendiri. Dampak revolusi industri merambah dunia farmasi dengan timbulnya industri-industri obat, sehingga terpisahlah kegiatan farmasi di bidang industri obat dan di bidang “penyedia/peracik” obat (apotek). Dalam hal ini keahlian kefarmasian jauh lebih dibutuhkan di sebuah industri farmasi dari pada apotek. Dapat dikatakan bahwa farmasi identik dengan teknologi pembuatan obat.
Pendidikan farmasi berkembang seiring dengan pola perkembangan teknologi agar mampu menghasilkan produk obat yang memenuhi persyaratan dan sesuai dengan kebutuhan. Kurikulum pendidikan bidang farmasi disusun lebih ke arah teknologi pembuatan obat untuk menunjang keberhasilan para anak didiknya dalam melaksanakan tugas profesinya.
Bahaya swamedikasi telah bayak dilaporkan para peneliti. Sebagai contoh, di Australia dan Inggris ada kencenderungan untuk mengurangi biaya pengobatan dengan mengganti status obat obat etikal menjadi obat bebas. Sayangnya, kecenderungan ini bukan hanya mengurangi biaya, melainkan juga meningkatkan risiko salah pakai obat (medication misuse).
Sementara itu, peranan etiologi atas kesalahan pemakaian obat bebas telah di identifikasi untuk banyak kondisi. Salah satu contoh adalah gagal ginjal dan penyakit ginjal, yang bisa muncul karena pemakaian analgesik secara berlebihan. Pemakaian laksatif yang berlebihan sebagai obat pencahar juga dapat menimbulkan gangguan cairan elektrolit tubuh. Tidak jarang pula orang keracunan difenhidramin yang terdapat dalam antihistamin. Pemakaian vitamin secara berlebihan  adalah salah satu contoh penyalahgunaan pemakaian obat bebas. Kecenderungan  untuk hidup sehat dan keinginan untuk mencegah penyakit membuat banyak orang tergiur meminum vitamin dan pelengkap makanan lainnya secara berlebihan.
1.2  Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan citra farmasi ?
2.      Bagaimana citra apoteker di Indonesia ?
3.      Bagaimana citra apoteker dinegara lain?
4.      Bagaimana cara pengembangan citra farmasi?
5.      Apa saja strategi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan citra farmasi?

1.3  Tujuan Penulisan
1.      Agar mahasiswa mengetahui apa itu citra farmasi.
2.      Agar mahasiswa mengetahui bagaimana citra apoteker di Indonesia
3.      Agar mahasiswa mengetahui bagaimana citra apoteker dinegara lain.
4.      Agar mahasiswa mengetahui bagaimana cara pengembangan citra farmasi.
5.      Agar mahasiswa mengetahui strategi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan citra farmasi.
  
BAB II
  Citra farmasi adalah suatu penilaian atau pencitraan terhadap peran seorang farmasis di masyarakat atau di lingkungan sekitar. Pencitraan dalam suatu keprofesian merupakan salah satu tolak ukur keberhasilan profesi tersebut dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Citra sebuah farmasis dimata masyarakat memberikan gambaran tentang sejauh mana masyarakat mengenal dan merasa terbantu oleh pelayanan seorang farmasis tesebut.
  Kini banyak sekali perusahaan atau organisasi dan orang-orang yang mengelolanya sangat sensitif menghadapi publik-publik mereka yang kritis. Dalam suatu penelitian terhadap seratus top eksekutif, lebih dari 50% menganggap “penting sekali untuk memelihara publik yang baik”. Sekarang ini banyak sekali perusahaan atau organisasi memahami sekali perlunya memberi perhatian yang cukup untuk membangun suatu citra yang menguntungkan bagi suatu perusahaan tidak hanya dengan melepaskan diri terhadap terbentuknya suatu kesan publik negatif. Dengan perkataan lain, citra perusahaan adalah fragile Commodity (komoditas yang rapuh atau mudah pecah). Namun kebanyakan perusahaan juga meyakini bahwa citra perusahaan yang posotif adalah esensial, sukses yang berkelanjutan dan dalam jangka panjang. 
Untuk membangun citra yang positif dibenak konsumen, maka pesan yang disampaikan perlu untuk dikomunikasikan kepada target sasaran. Informasi-informasi tersebut dapat dikomunikasikan melalui strategi promosi yang digunakan haruslah dapat mencapai target sasaran yang telah ditentukan. Salah satu cara untuk menyampaikan pesan-pesan tersebut adalah melalui personal selling. Cara yang dilakukannya  yaitu mencari dan mengembangkan pelanggan baru serta menyampaikan informasi mengenai produk dan jasa perusahaan.
Citra memegang peran yang penting dalam sebuah profesi. Citra dihasilkan dari akumulasi pengalaman masyarakat terhadap suatu profesi. Ketika masyarakat merasa puas, merasa terbantu dan profesi tersebut memberikan manfaat yang nyata bagi masyarakat, maka masyarakat akan memberi kepercayaan yang tinggi terhadap profesi tersebut, hasil akhirnya citra profesi tersebut akan tinggi, begitu juga sebaliknya.      

2.2  Citra Apoteker di Indonesia
           Pada kenyataannya, profesi apoteker di Indonesia kurang dikenal oleh masyarakat. Jika ditanya kepada masyarakat “apa itu apoteker dan apa tugasnya?”, yang terlintas difikiran mereka adalah “tukang obat”. Sebuah paradigma yang sangat memilukan, hanya sebatas itu pemahaman masyarakat tentang peranan apoteker atau farmasis. Masyarakat hanya mengetahui bahwa apoteker itu adalah orang yang bertugas di apotek tanpa tahu apa tugas mereka sebenarnya. Apoteker selalu identik dengan apotek, bahkan masyarakat awam tidak mengetahui bahwa prospek kerja apoteker atau farmasis itu sangat luas. Padahal segala produk sehari-hari yang mereka pakai itu merupakain produk farmasis.
           Buruknya citra profesi apoteker dimasyarakat pada dasarnya merupakan akibat dari kelalaian dan ketidak profesionalan para apoteker di Indonesia. Kita sebagai farmasis atau apoteker mungkin geram melihat pihak-pihak lain yang seenaknya menggarap lahan kerja apoteker atau farmasis seperti dokter yang melakukan dispensing, bahkan masyarakat awam pun dengan beraninya menggantikan peran apoteker di apotek yang seharusnya merupakan wewenang dan tanggung jawab seorang apoteker.
           Menurut Drs. M. Dani Pratomo, Apt, MM sebagai ketua IAI (ikatan apoteker Indonesia) tahun 2005 mengatakan bahwa masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui apa tugas apoteker yang sebenarnya. Ini dikarenakan di Indonesia penggunaan obat sudah terlalu mudah diakses oleh masyarakat padahal obat yang sesungguhnya adalah racun yang memerlukan pengaturan yang tepat. Menurut pandangan beliau juga apoteker tidak dilatih sesuai dengan pekerjaan yang sebenarnya sesuai pharmaceutical care untuk menghadapi pasien. Sehingga mereka kurang begitu terampil ketika lulus.
           Di Indonesia masyarakat umum mengenal apoteker sebagai tenaga kedua setelah dokter. Ini terbukti dengan anggapan dan pendapat masyarakat yang mengutarakan bahwa apoteker memiliki kerja sebagai penerjemah resep, orang yang mempersiapkan obat dan penjaga apotek Padahal apoteker telah diakui sebagai profesi layaknya dokter gigi, dokter,  perawat dan dokter hewan. Sebuah profesi pastilah memiliki kualifikasi untuk bekerja secara professional dan mempunyai undang-undang yang mendukung pekerjaannya. Bila dibandingkan dengan keadaan tersebut, maka ini menjadi suatu masalah besar bagi farmasi untuk diselesaikan.

                                         
2.3  Citra Apoteker di Negara Lain 
Mari kita lihat di Kanada. Studi yang dilakukan di Kanada tahun 2003 oleh CFP (Canadian Foundation for Pharmac) mengenai persepsi pasien terhadap apotek menyatakan persepsi pasien bahwa apoteker menduduki peringkat no 2 untuk kriteria “siapa yang paling bertanggung jawab terhadap kesehatan seorang pasien” (lihat gambar bawah). Hal ini menggambarkan betapa kuatnya persepsi dan kepercayaan masyarakat selaku konsumen mengenai apoteker di Kanada.
Bagaimana dengan di Australia. Studi Roy Morgan Research (2010),mengenai persepsi masyarakat Australia terhadap urutan profesi kesehatan yang paling ramah, Perawat menempati posisi pertama, Apoteker menempati posisi ke-2 (kenaikan 1% di banding tahun 2009)  dan dokter menempati posisi yang ke-3 (penurunan 3% dibanding tahun 2009). Selama 4 tahun berturut-turut posisi tersebut tidak mengalami perubahan.

No
Profesi
Satuan %
2005
2007
2008
2009
2010
1
Perawat
89
91
89
89
89
2
Apoteker
84
85
86
84
85
3
Dokter
79
81
79
82
79
4
Guru
74
78
78
76
73
Sumber: Roy Morgan Research, 2010

Ternyata  Hasil survey Roy Morgan Research tidak jauh berbeda dengan survey yang dilakukan Gallup Polls. Gallup Polls melakukan surveynya terhadap masyarakat Amerika, dari hasil surveynya, untuk kategori profesi yang paling ramah dan paling memegang etik, apoteker menempati posisi yang ke-2, perawat menempati posisi yang pertama, sedangkan dokter menempati posisi yang ke-3. Hasil survey dari Gallup Polls ternyata untuk urutan 4 teratas tidakmengalami perubahan dalam beberapa tahun, ada perubahan persentase tapi urutan tidak mengalami perubahan.


2.4  Farmasi Masa Depan Dengan Prinsip Moderate Dan Open Mind Terhadap Perubahan Zaman

2.4.1        Farmasi di Masa yang Akan Datang
          BPOM adalah badan resmi di Indonesia yang berhak memberi ijin untuk beredarnya produk obat, obat herbal, makanan dan minuman yang boleh beredar di Indonesia. Namun dalam sebagian besar pertimbangan untuk regulasi dan pemilihan kepalanya yang ada di lembaga tersebut bukanlah orang farmasi. Pekerjaan tersebut dilakukan oleh menteri kesehatan yang diwakili oleh profesi kedokteran. Sehingga farmasi Indonesia terasa belum bebas sepenuhnya dan diakui sebagai profesi yang mampu berkembang walaupun banyak berdiri pabrik-pabrik besar farmasi di negara ini. Sisi psikologi untuk mendukung farmasi dari sisi kepemimpinan  dan interaksi dengan orang lain.Karena pencitraan profesi ini tidaklah berhasil jika hanya ditinjau dari satu sisi saja. Seorang apoteker haruslah mengusahakan pembelajaran seumur hidup untuk mengikuti kemajuan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi. Serta mempertimbangkan aspek nine star of pharmacist yang diajarkan di fakultas farmasi bahwa farmasi adalah juga sebagai care giver, decision maker, communicator, leader, manager, life long learner, teacher, researcher dan pharmapreneur.
2.4.2        Farmasi dalam paradigma etika
Pemberdayaan farmasi dalam bidang pengabdian kesehatan tidak hanya terbatas pada bagaimana meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, tetapi harus bernuansa lebih luas, yaitu bagaimana meningkatkan kualitas SDM dan kualits kehidupan, maka peranan farmasi hendaknya bukan hanya terbatas pada bagaimana menemukan obat, tetapi jauh lebih kedepan bagaimana mengembangkannya dan membantu masyarakat agar mereka mau dan mampu menjaga kesehatannya dengan baik serta menjadikan industri farmasi dan unit-unit pelayanan kefarmsian sebagai sarana untuk meningkatkan derajat kehidupan dan penghidupan yang layak bagi sebagian besar masyarakat dan ummat manusia seluruhnya.
Mengingat bahwa tingkat kemampuan masyarakat sangat bervariasi, selain menyebabkan bervariasinya penyakit yang diderita dan yang paling penting adalah kemampuan mereka untuk membayar biaya kesehatan juga sangat bervariasi.Hal ini merupakan tantangan tersendiri bagi farmasis/apoteker untuk pemberian alternatif obat-obatan yang dapat memenuhi tuntutan masyarakat sehingga seluruh masyarakat dapat terlayani dengan baik, terutama masyarakat yang berpendapatan rendah.
Untuk hal tersebut di atas, sangat dibutuhkan kerjasama antara farmasis/apoteker dengan pihak-pihak terkait (interdisipliner), dan didukung oleh wawasan luas yang berorientasi pada kesehatan yang paripurna dan hedonistik, produktif manusiawi, serta berwawasan lingkungan yang ekologis, bernuansa pada kesejakteraan yang universal.
Dengan perspektif filsafat ilmu pengetahuan maka telaah farmasi sebagai sebuah cabang ilmu pengetahuan dapat memberikan pencerahan bagi arah perkembangan farmasi kini dan masa datang.Penyelenggara pendidikan farmasi memiliki peran yang eksklusif dalam menentukan visi pengabdian farmasis/apoteker bagi kemaslahatan umat manusia.Kurikulum pendidikan farmasi harus segera direvisi yang tidak hanya melahirkan tenaga ahli dibidang kefarmasian yang berdaya intelektual, tapi juga berdaya moral.
Farmasis/apoteker yang berdaya intelektual dan berdaya moral haruslah menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan nilai kejujuran dalam menjalankan profesinya.Setiap keputusan yang diambil, pilihan yang ditentukan, penilaian yang dibuat hendaknya selalu mengandung dimensi etika.Khusus dalam bidang pelayanan kefarmasian penulis ingin menggaris bawahi bahwa sarana pelayanan harus mngikuti paradigma asuhan kefarmasian dimana farmasis/apoteker harus ada di tempat.
2.5  Cara Meningkatkan Citra Farmasi
            Dengan berupaya mengembalikan kembali keberadaan profesi apoteker di Indonesia yang ditunjang pengetahuan, ketrampilan dan keahlian dalam pelayanan kefarmasian, di masa depan akan memberikan justifikasi yang kuat karena fungsi dan peran apoteker ini semakin jelas. Keberadaan ini pada akhirnya menjadi kunci kemajuan usaha apotek, yang tentunya akan berdampak menaikan kesejahteraan apoteker dan menjadikan apotek sebagai pekerjaan pokok. Sikap perilaku profesionalisme yang didukung keinginan selalu berbuat benar, merupakan wujud realisasi yang menopang sistem dan aturan yang di tentukan mulus berjalan. Sikap profesionalisme yang dicirikan oleh seorang apoteker akan tercermin pada :
Ø  Selalu berniat melaksanakan kebajikan dengan tidak mementingkan keuntungan materi semata, sehingga terpancar dalam bentuk sikap objektif, menjaga diri dan independen.
Ø  Bekerja berdasarkan keahlian dan kompeten sehingga mampu menjalankan profesi secara bebas dan otonom.
Ø  Mempunyai klasifikasi teknis dan moral yang tinggi dengan ketaatan dan pengamalan sumpah profesi, kode etik dan standar profesi.
2.6  Strategi Untuk Meningkatkan Citra
·         Kemampuan menyediakan dan memberikan pelayanan yang baik, mengambil keputusan yang tepat, kemampuan berkomunikasi antar profesi, menempatkan diri sebagai pimpinan dalam situasi multidisipliner, kemampuan mengelola SDM secarac efektif, selalu belajar sepanjang karir dan membantu pendidikan dan memberi peluang untuk meningkatkan pengetahuan.
·         Dapat mengelola persediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainya yang meliputi perencanaan, pengadaan, penyimpanan dan pelayanan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
·         Menyelenggarakan kegiatan pelayanan profesional berdasarkan prosedur kefarmasian dan etika profesi.
·         Mampu melaksanakan KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi) mengenai obat.
·         Memberikan konseling kepada pasien yang akan meningkatkan kepatuhan pasien pada terapi obat.
·         Dapat melakukan pelayanan residensial (Home Care).
·         Dapat bekomunikasi antar profesi dalam pemakaian obat dan sebagai bagian dari pembuat keputusan klinis bersama spesialis yang lain. Sebagai seorang yang ahli dalam hal obat-obatan kerena pendidikannya, apoteker harus selalu dikenal dan dapat dihubungi sebagai sumber nasehat yang benar tentang obat-obatan dan masaalah pengobatan.

Kesimpulan
                  Untuk membangun citra yang positif dibenak konsumen, maka pesan yang disampaikan perlu untuk dikomunikasikan kepada target sasaran. Informasi-informasi tersebut dapat dikomunikasikan melalui strategi promosi yang digunakan haruslah dapat mencapai target sasaran yang telah ditentukan
Ø  Farmasi Masa Depan Dengan Prinsip Moderate Dan Open Mind Terhadap Perubahan Zaman
1.                  Pandangan Masyarakat terhadap Apoteker
2.                  Farmasi dalam paradigma ontologis
3.                  Farmasi di Masa yang Akan Datang
4.                  Farmasi dalam paradigma epistemologi
5.                  Farmasi dalam paradigma etika
            Sikap profesionalisme yang dicirikan oleh seorang apoteker akan tercermin jika selalu berniat melaksanakan kebajikan dengan tidak mementingkan keuntungan materi semata dan juga bekerja berdasarkan keahlian dan kompeten sehingga mampu menjalankan profesi secara bebas dan otonom.

DAFTAR PUSTAKA
Fuad, Ahmad. 2011. Farmasi Sosial. Jakarta : Samitra Media Utama.
Sorensen, E.W. 2003. The Concept of Social Pharmacy. New York : Summer Edition.
Anonimus. 2011. Profesi Farmasi di Indonesia. Jakarta : PT. Gramedia.

Comments

Popular posts from this blog

MAKALAH Iodo - Iodimetri

Iodo-Iodimetri BAB I PENDAHULUAN I.1  Latar Belakang Titrasi iodometri dan iodimetri adalah salah satu metode titrasi yang didasarkan pada reaksi oksidasi reduksi. Metode ini lebih banyak digunakan dalam analisa jika dibandingkan dengan metode lain. Alasan dipilihnya metode ini karena perbandingan stoikometri yang sederhana pelaksanannya praktis dan tidak benyak masalah dan mudah. Iodimetri adalah jika titrasi terhadap zat-zat reduktor dengan titrasi langsung dan tidak langsung. Dilakukan percobaan ini untuk menentukan kadar zat-zat oksidator secara langsung, seperti yang kadar terdapat dalam serbuk vitamin C. Titrasi tidak langsung iodometri dilakukan terhadap zat-zat oksidator berupa garam-garam besi (III) dan tembaga sulfat dimana zat-zat oksidator ini direduksi dahulu dengan KI dan iodin dalam jumlah yang setara dan ditentukan kembali dengan larutan natrium tiosulfat baku. Dalam bidang farmasi metode ini digunakan untuk menentukan kadar zat-zat yang mengandung oksi

Reseach and Development (R&D)

1.       Departemen Reseach and Development (R&D) Departemen R&D merupakan Inti ( Core ) dari industri farmasi. Penelitian yang dilakukan R&D terkait dengan inovasi produk baru dan perubahan formula produk lama dengan tujuan meningkatkan mutu, stabilitas dan kenyamanan suatu produk.penelitian dan pengembangan terhadap produk selalu dilakukan secara berkesinambungan mengikuti Trend ilmu pengetahuan, teknologi dan regulasi. Dalam pengembangan produk terbagi dalam 3 bagian: 1)       Formulasi Development (ForDev) Formulasi Development (ForDev) bertugas dalam pengembangan formulasi, mentransfer formula ke proses, dan pengembangan produk. Apabila formula tersebut memenuhi syarat , formula tersebuut akan doiserahkan kepada bagian AnDev untuk dianalisa. 2)       Analytical Development (AnDev) Analytical Development (AnDev) bertugas dalam pengembagan analisa produk baik itu bahan baku ataupun bahan tambahan yang telah disusun oleh tim ForDev. Outputnya adalah met

Makalah ANTIDIABETES

MAKALAH TOKSIKOLOGI TOKSIKOLOGI ANTIDIABETES BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Diabetes melitus merupakan penyakit yang ditandai dengan terjadinya hiperglikemi di dalam tubuh. Sebagian besar orang-orang menyebutnya dengan penyakit kencing manis. Biasanya para penderita DM akan disertai dengan berbagai gejala seperti poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan  berat badan. Apabila tidak dilakukan perawatan dan pengontrolan pengobatan yang baik pada penderita DM, maka akan menyebabkan berbagai penyakit menahun seperti serebrovaskular, penyakit jantung koroner, penyakit  pembuluh darah tungkai dan lain sebagainya. Penyebab diabetes dapat disebabkan berbagai hal seperti keturunan, pola hidup yang tidak sehat, dan lain-lain. Penderita diabetes pun setiap tahunnya semakin bertambah. S ejalan dengan perubahan gaya hidup termasuk pola makan masyarakat Indonesia diperkirakan penderita d iabetes melitus ini semakin meningkat, terutama pada kelompok umur dewasa keata