Skip to main content

makalah Imunologi Defisiensi Imun










MAKALAH IMUNOLOGI
DEFISIENSI IMUN
JURUSAN FARMASI


Di Susun Oleh :



Michael Argasio                    (12330099)



FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL
JAKARTA SELATAN
2015



BAB I
PENDAHULUAN
1.        Latar Belakang
Dewasa ini, semakin banyak penyakit yang bermunculan terutama penyakit sistem imun, penyakit yang sedang ramai dibahas dikalangan masyarakat umum.
Pengertian dari sistem kekebalan atau sistem imun itu sendiri adalah sistem perlindungan pengaruh luar biologis yang dilakukan oleh sel dan organ khusus pada suatu organisme. Jika sistem kekebalan bekerja dengan benar, sistem ini akan melindungi tubuh terhadap infeksibakteri dan virus, serta menghancurkan sel kanker dan zat asing lain dalam tubuh. Jika sistem kekebalan melemah, kemampuannya melindungi tubuh juga berkurang, sehingga menyebabkan patogen, termasuk virus yang menyebabkan demam dan flu, dapat berkembang dalam tubuh. Sistem kekebalan juga memberikan pengawasan terhadap sel tumor, dan terhambatnya sistem ini juga telah dilaporkan meningkatkan resiko terkena beberapa jenis kanker.
Sistem Imun adalah struktur efektif yang menggabungkan spesifisitas dan adaptasi. Kegagalan pertahanan dapat muncul, dan jatuh pada 3 kategori yaitu: Defisiensi Imun, autoimunitas dan Hipersensitivitas.
Defisiensi sistem imun yang paling melekat di masyarakat adalah HIV/AIDS, padahal masih banyak penyakit sistem imun yang terdapat di sekitar kita. Defisiensi imun disebabkan oleh berbagai faktor. Misalnya virus, mutasi, antigen, genetik dan lain sebagainya. Melalui makalah ini, kami mencoba untuk memberikan informasi mengenai defisiensi sistem imun.
Defisiensi imun dan peradangan menghambat kemampuan tubuh untuk berespons terhadap infeksi atau cidera dan dapat terjadi akibat gangguan fungsi sebagian atau semua sel darah putih.

2.        Rumusan Masalah
a)   Apa yang dimaksud dengan defisiensi imun?
b)   Seperti apa tanda-tanda klinis dari penyakit defisiensi imun?
c)   Apa saja penyebab penyakit defisiensi imun?
d)  Apa saja jenis-jenis penyakit defisiensi imun?
e)   Seperti apa diagnosis penyakit defisiensi imun?
f)    Bagaimana pengobatan terkait dengan penyakit defisiensi imun?

3.        Tujuan
a)   Mengetahui apa yang dimaksud dengan defisiensi imun.
b)   Mengetahui tanda-tanda klinis dari penyakit defisiensi imun
c)   Mengetahui apa saja faktor-faktor penyebab terjadinya penyakit defisiensi imun
d)  Mengetahui dan memahami seperti apa jenis-jenis peynakit defisiensi imun
e)   Memahami diagnosis penyakit defisiensi imun
f)    Mengetahui pengobatan yang tepat untuk penyakit terkait defisiensi imun.



















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1.      Definisi Defisiensi Imun
Integritas sistem imun adalah esensial untuk pertahanan terhadap infeksi mikroba dan produk toksiknya. Defek salah satu komponen sistem imun dapat menimbulkan penyakit berat bahkan fatal yang secara kolektif disebut penyakit defisiensi imun.
Defisiensi Imun muncul ketika satu atau lebih komponen sistem Imun tidak aktif, kemampuan sistem Imun untuk merespon patogen berkurang pada baik golongan muda dan golonga tua, respon imun berkurang pada usia 50 tahun, respon juga dapat terjadi karena penggunaan Alkohol dan narkoba adalah akibat paling umum dari fungsi imun yang buruk, namun, kekurangan nutrisi adalah akibat paling umum yang menyebabkan difisiensi imun di negara berkembang. Diet kekurangan cukup protein berhubungan dengan gangguan imunitas selular, aktivitas komplemen, fungsi fagosit, konsentrasi antibody, IgA dan produksi sitokin, Defisiensi nutrisi seperti zinc, Selenium, zat besi, tembaga, vitamin A, C, E, B6 dan asam folik (vitamin B9) juga mengurangi respon imun
Defisiensi imun merupakan penyebab dari penyakit genetika, seperti severe combined immunodeficiency, atau terinfeksi virus dan atau juga didapat dari chronic granulomatus disease (penyakit yang menyebabkan kemampuan fagosit untuk menghancurkan fagosit berkurang), contohnya : AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) dan beberapa tipe kanker.
Penyakit defisiensi imun didefinisikan sebagai salah satu dari sekelompok penyakit yang disebabkan oleh kerusakan sistem kekebalan. Gangguan imunodefisiensi sekelompok gangguan di mana bagian dari sistem kekebalan tubuh hilang atau rusak. Akibatnya, kemampuan tubuh untuk melawan infeksi dapat terganggu.
Adanya defisiensi imun harus dicurigai bila ditemukan tanda-tanda klinis sebagai berikut :
·         Peningkatan kerentanan terhadap infeksi dan jenis infeksinya tergantung dari komponen sistem imun yang detektif.
·         Penderita dengan defisiensi imun juga rentan terhadap jenis kanker tertentu
·         Defisiensi imun dapat terjadi akibat defek pematangan limfosit atau aktivasi atau dalam mekanisme efektor imunitas nonspesifik dan spesifik.
·         Yang merupakan paradoks adalah bahwa imunodefisiensi tertentu berhubungan dengan peningkatan insidens autoimunitas. Mekanismenya tidak jelas, diduga berhubungan dengan defisiensi sel Tr.

2.      Pembagian Defisiensi Imun
Defisiensi imun terdiri atas sejumlah penyakit yang menimbulkan kelainan atau lebih sistem imun.
Manifestasi defisiensi imun tergantung dari sebab dan respon. Defisiensi sel B ditandai oleh infeksi rekuren bakteri dengan kapsel. Defisiensi sel T ditandai oleh infeksi virus, jamur dan protozoa yang rekuren. Defisiensi fagosit dengan ketidakmampuan untuk memakan dan mencerna patogen yang biasanya terjadi pada infeksi bakteri yang rekuren. Penyakit gangguan komplemen menunjukkan defek aktivasi jalur klasik, alternatif dan lektin yang meningkatkan mekanisme spesifik.
2.1  Defisiensi imun nonspesifik
2.1.1  Defisiensi komplemen
Defisiensi komponen atau fungsi komplemen berhubungan dengan peningkatan insidens infeksi dan penyakit autoimun seperti LES. Komponen komplemen diperlukan untuk membunuh kuman, opsonisasi, kemotaksis, pencegahan penyakit autoimun dan eliminasi kompleks antigen antibodi. Defisiensi komplemen dapat menimbulkan berbagai akibat seperti infeksi bakteri yang rekuren dan peningkatan sensitivitas terhadap penyakit autoimun. Kebanyakan defisiensi komplemen adalah herediter.
Konsekuensi defisiensi komplemen tergantung dari komponen yang kurang. Defisiensi C2 tidak begitu berbahaya. Hal tersebut mungkin disebabkan oleh karena mekanisme jalur alternatif tidak terganggu. Defisiensi C3 biasanya menimbulkan infeksi rekuren bakteri piogenik dan negatif-Gram yang mungkin disebabkan oleh karenea tidak adanya faktor kemotaktik, opsonisasi dan aktivitas bakterisidal.

a.      Defisiensi komplemen kongenital
Defisiensi komplemen biasanya menimbulkan infeksi yang berulang atau penyakit kompleks imun seperti LES dan glomerulonefritis.
·         Defisiensi inhibitor esterase C1
Defisiensi C1 INH berhubungan dengan angioedem herediter, penyakit yang ditandai dengan edem lokal sementara tetapi seringkali. Defek tersebut menimbulkan aktivitas C1 yang tidak dapat dikontrol dan produksi kinin yang meningkatkan permeabilitas kapilar. C2a dan C4a juga dilepas yang merangsang sel mast melepas histamin didaerah dekat trauma yang berperan pada edem lokal. Kulit, saluran cerna dan napas dapat terkena dan menimbulkan edem laring yang fatal.
·         Defisiensi C2 dan C4
Defisiensi C2 dan C4 dapat menimbulkan penyakit serupa LES, mungkin disebabkan kegagalan eliminasi kompleks imun yang komplemen dependen.
·         Defisiensi C3
Defisiensi C3 dapat menimbulkan rekasi berat yang fatal terutama yang berhubungan dengan infeksi mikroba piogenik seperti streptokok dan stafilokok. Tidak adanya C3 berarti fragmen kemotaktik C5 tidak diproduksi. Kompleks antigen-antibodi-C3b tidak diendapkan dimembran dan terjadi gangguan opsonisasi.
·         Defisiensi C5
Defisiensi C5 menimbulkan kerentanan terhadap infeksi bakteri yang berhubungan dengan gangguan kemotaksis.
·         Defisiensi C6, C7 dan C8
Defisiensi C6, C7 dan C8 meningkatkan kerentanan terhadap septikemi meningokok dan gonokok. Lisis melalui jalur komplemen merupakan mekanisme kontrol utama dalam imunitas terhadap neseria. Penderita dengan defisiensi protein tersebut menunjukkan derajat infeksi neseria, sepsis, atritis yang lebih berat dan peningkatan DIC.

b.      Defisiensi komplemen fisiologik
Defisiensi komplemen fisiologik hanya ditemukan pada neonatus yang disebabkan kadar C3, C5 dan faktor B yang masih rendah.

c.       Defisiensi komplemen didapat
Defisiensi komplemen didapat disebabkan oleh depresi sintetis, misalnya pada sirosis hati dan malnutrisi protein/kalori. Pada anemia sel sabit ditemukan gangguan aktivasi komplemen yang meningkatkan resiko infeksi salmonela dan pneumokok.
·         Defisiensi Clq,r,s
Defisiensi Clq,r,s terjadi bersamaan dengan penyakit autoimun, terutama pada penderita LES. Penderita ini sangat rentan terhadap infeksi bakteri. Penyakit yang berhubungan dengan defisiensi C1 adalah edem angioneuritik herediter. Penderita tersebut tidak memiliki inhibitor esterase C1. Akibatnya ialah efek C1 terhadap C4 atau C2 berjalan terus yang dapat mengaktifkan berbagai bahan seperti plasmin dan peptida yang vasoaktif. Hal ini menimbulkan edem lokal dalam berbagai alat tubuh yang dapat fatal bila terjadi dalam larings. Danazol dan oksimetolon memacu sintesis inhibitor esterase C1 pada penderita dengan edem angioneurotik.
·         Defisiensi C4
Defisiensi C4 ditemukan pada beberapa penderita LES.

·         Defisiensi C2
Defisiensi C2merupakan defisiensi komplemen yang paling sering terjadi. Defisiensi tersebut tidak menunjukkan gejala seperti telah dijelaskan terlebih dahulu dan terdapat pada penderita LES.
·         Defisiensi C3
Penderita dengan defisiensi C3 menunjukkan infeksi bakteri rekuren. Pada beberapa penderita disertai dengan glomerulonefritis kronik.
·         Defisiensi C5-C8
Penderita dengan defisiensi C5 sampai C8 menunjukkan kerentanan yang meningkatkan terhadap infeksi terutama neseria.
·         Defisiensi C9
Defisiensi C9 sangat jarang ditemukan. Anehnya penderita tersebut tidak menunjukkan tanda infeksi rekuren, mungkin karena lisis masih dapat terjadi atas pengaruh C8 tanpa C9 meskipun terjadi secara perlahan.

2.1.2  Defisiensi interferon dan lisozim
a.      Defisiensi interferon kongenital
Defisiensi interferon kongenital dapat menimbulkan infeksi mononukleosis yang fatal.

b.      Defisiensi interferon dan lisozim didapat
Defisiensi interferon dan lisozim dapat ditemukan pada malnutrisi protein/kalori.

2.1.3  Defisiensi sel NK
a.      Defisiensi kongenital
Defisiensi sel NK kongenital telah ditemukan pada penderita dengan osteopetrosis (defek osteoklas dan monosit). Kadar IgG, IgA dan kekerapan auto antibodi biasanya meningkat.

b.      Defisiensi didapat
Defisiensi sel NK yang didapat terjadi akibat imunosupresi atau radiasi.



2.1.4  Defisiensi sistem fagosit
Fagosit dapat menghancurkan mikroorganisme dengan atau tanpa bantuan komplemen. Defisiensi fagosit sering disertai dengan infeksi berulang. Kerentanan terhadap infeksi piogenik berhubungan langsung dengan jumlah neotrofil yang menurun. Resiko infeksi meningkat bila jumlah fagosit turun sampai dibawah 500/mm2. Meskipun defek terutama mengenai fagosit, defisiensi fagosit juga terjadi pada PMN.

a.      Defisiensi kuantitatif
Neutropenia atau granulositopenia dapat disebabkan oleh penurunan produksi atau peningkatan destruksi. Penurunan produksi neutrofil dapat disebabkan oleh pemberian depresan sumsum tulang (kemotrapi pada kanker), leukemia, kondisi genetik yang menimbulkan defek dalam perkembangan semua sel progenitor dalam sumsum tulang termasuk prekursor mieloid (disgenensis retikular).
Peningkatan destruksi neutrofil dapat merupakan fenomena autoimun akibat pemberian obat tertentu (kuinidin, oksasilin). Hiperplenisme dengan ciri destruksi fungsi limfa yang berlebihan dapat menimbulkan defisiensi elemen darah perifer. Asplenia (kongenital), tindakan bedah atau destruksi keganasan atau anemia sel sabit dapat meningkatkan resiko infeksi terutama septikemia oleh streptokok pneumoni dan enterobakteria.

b.      Defisiensi kualitatif
Defisiensi kualitatif dapat mengenai fungsi fagosit seperti kemotaksis, menelan/memakan dan membunuh mikroba intraselular.
·         Chronic Granulomatous Disease
CGD adalah infeksi rekuren berbagai mikroba, baik negatif-Gram (escheriachia, serratia, klebsiela) maupun positif-Gram (stafilokok). CGD biasanya merupakan penyakit X-linked resesif yang terjadi pada usia 2 tahun pertama. Pada CGD ditemukan defek neutrofil dan ketidakmampuan membentuk peroksid hidrogen atau metabolit oksigen toksik lainnya.
·         Defisiensi Glucose-6-phosphate dehydrogenase
Defisiensi G6PD adalah penyakit imunodefisiensi yang X-linked dengan gambaran klinis seperti CGD. Pada defisiensi ini, juga ditemukan anemia hemolitik. Penyakit diduga disebabkan oleh defisiensi generasi NADPH. Gejalanya mulai terlihat pada usia dibawah 2 tahun berupa kerentanan yang tinggi terhadap kuman yang biasanya mempunyai virulensi rendah seperti S. epidermidis, Seratia marsesen dan aspergilus. Kelainan klinis yang ditemukan yaitu limfadenopati, hepanisplenomegali dan KGB yang terus mengeluarkan cairan. Infeksi akut dan kronik selain di KGB, juga terjadi di kulit, saluran cerna, hati dan tulang. Dalam keadaan normal, fagositosis akan mengaktifkan oksidase NADPH yang diperlukan untuk pembentukan peroksidase. Pada defisiensi oksidasi NADPH tidak dibentuk peroksidase yang diperlukan untuk membunuh kuman intraselular.
·         Defisiensi meiloperoksidase
Pada beberapa penderita dengan DMP ditemukan infeksi mikroba rekuren terutama K. albikans dan S. aureus. Enzim tersebut ditemukan pada neutrofil normal. Peroksidase ditemukan dalam granul sitoplasma dan dilepas ke fagosom melalui proses degranulasi yang diikuti dengan fagositosis. Pada DMP proses tersebut terganggu sehingga kemampuan membunuh neutrofil terganggu.
·         Sindrom Chediak-Higashi
SCH sangat jarang ditemukan, ditandai dengan infeksi rekuren, piogenik, terutama streptokok dan stafilokok. Prognosisnya buruk dan kebanyakan penderita meninggal pada usia anak. Neutrofil mengandung lisosom besar abnormal yang dapat bersatu dengan fagosom tetapi terganggu dalam kemampuan melepas isinya, sehingga proses menelan, memakan dan menghancurkan mikroba terlambat. Pada SCH ditemukan neutrofil dengan kemotaksis dan kemampuan membunuh yang abnormal dengan aktivitas sel NK dan kadar enzim lisosom menurun. Konsumsi oksigen dan produksi peroksida hidrogen normal.
·         Sindrom Job
Sindrom job berupa pilek yang berulang (tidak terjadi inflamasi normal), abses stafilokok, eksim kronis dan otitis media. Kemampuan neutrofil untuk menelan-memakan tidak menunjukkan kelainan, tetapi kemotaksis terganggu. Kadar IgE serum sangat tinggi dsan dapat ditemukan eosinofilisa.
·         Sindrom leukosit malas (lazy leucosyte)
Sindrom leukosit malas berupa kerentanan terhadap infeksi mikroba yang berat. Jumlah neutrofil menurun, respon kemotaksis (asal nama sindrom) dan respon inflamasi terganggu.
·         Defisiensi adhesi leukosit
Defisiendi adhesi leukosit merupakan penyakit imunodefisiensi yang ditandai dengan infeksi bakteri dan jamur rekuren dan gangguan penyembuhan luka. Leukosit menunjukkan defek adhesi dengan endotel dan antar leukosit (agregrasi), kemotaksis dan aktivitas fagositosis yang buruk. Efek sitotoksis neutrofil, sel NK dan sel T juga terganggu.

2.2  Defisiensi imun spesifik
Gangguan dalam sistem imun spesifik dapat terjadi kongenital, fisiologik dan didapat.

2.2.1  Defisiensi kongenital atau primer
Defisiensi imun spesifik kongenital sangat jarang terjadi. Defisiensi sel B ditandai dengan infeksi rekuren oleh bakteri. Defisiensi sel T ditandai dengan infeksi virus, jamur dan protozoa yang rekuren. Defisiensi fagosit disertai oleh ketidakmampuan untuk memakan dan menghancurkan patogen, biasanya timbul dengan infeksi bakteri rekuren. Penyakit komplemen menunjukkan defek dalam jalur aktivasi klasik, alternaif dan atau lektin yang meningkatkan mekanisme pertahanan pejamu spesifik.

a.      Defisiensi imun primer sel B
Defisiensi sel B dapat berupa gangguan perkembangan sel B (Gambar 17.3). Berbagai akibat dapat ditemukan seperti tidak adanya satu kelas atau subkelas Ig atau semua Ig. Penderita dengan defisiensi semua jenis IgG lebih mudah menjadi sakit dibanding dengan yang hanya menderita defisiensi kelas Ig tertentu saja.
Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan adalah analisa jumlah dan fungsi sel B, imunoelektroforesis dan evaluasi kuantitatif untuk menentukan kadar berbagai kelas dan subkelas Ig. Istilah agamaglobulinemia (tidak ada Ig sama sekali) sebenarnya tidak benar oleh karena pada defisiensi ini biasanya masih ada kadar Ig yang rendah terutama IgG. Oleh karena itu sebaiknya disebut hipogama-globulinemnia.
·         X-linked hypogamaglobulinemia
Bruton pada tahun 1952 menggambarkan penyakit yang disebutnya agamaglobulinemi Bruton yang X-linked dan hanya terjadi pada bayi laki-laki. Penyakit jarang terjadi, biasanya nampak pada usia 5-6 bulan sewaktu IgG asal ibu mulai menghilang. Pada usia tersebut, bayi mulai menderita infeksi bakteri berulang. Pemeriksaan imunologi menunjukkan tidak adanya Ig dari semua kelas Ig. Darah, sumsum tulang, limpa dan KGB tidak mengandung sel B. kerusakan utama adalah oleh karena pre-sel B yang ada dalam kadar normal tidak dapat berkembang menjadi sel B yang matang.
Bayi dengan defisiensi sel B menderita otitis media rekuren, bronkitis, septikemi, pneumoni, artritis, meningitis dan dermatitis. Kuman penyebab pada umumnya adalah H.influenza dan S.pneumoni. Sering pula ditemukan sindrom malabsorbsi oleh karena G.lamblia yang bermanifestasi dalam saluran cerna. Antibiotik biasanya tidak menolong. Pemberian IgG yang periodik memberikan hasil yang efektif untuk 20-30 tahun. Pragnosisnya buruk dan biasanya diakhiri dengan penyakit paru kronik.
·         Hypogamaglobulinemia sementara
Hipogamaglobulinemia sementara dapat terjadi pada bayi bila sintesis terutama IgG terlambat. Sebabnya tidak jelas, tetapi dapat berhubungan dengan defisiensi sementara dari sel Th. Penyakit ditemukan pada bayi melalui masa hipogamaglobulinemia antara usia 6-7 bulan. Banyak bayi menderita infeksi saluran napas rekuren pada masa tersebut. Beberapa bayi mengalami perkembangan yang terlambat dalam sintesis IgG. Bayi sering menderita infeksi kumari piogenik positif-Gram (kulit, selaput otak atau saluran napas). Keadaan membaik sendiri, biasanya pada usia 16-30 bulan. Terapinya adalah pemberian antibiotik, gama globulin atau keduanya.
Pada usia 5-6 bulan kadar IgG yang berasal dari ibu mulai menurun dan bayi mulai memproduksi IgG sendiri. Kadang-kadang bayi tidak mampu memproduksi IgG dengan cukup meskipun kadar IgM dan IgA normal. Hal tersebut disebabkan oleh karena sel T yang belum matang. Pada beberapa bayi ditemukan kelebihan sel Ts. Gangguan dapat berlangsung beberapa bulan sampai 2 tahun. Penyakit ini tidak X-linked dan dapat dibedakan dari penyakit Bruton oleh karena pada yang akhir tidak ditemukan IgG dan sel B dalam darah. Pemberian Ig hanya diberikan bila terjadi infeksi berat yang rekuren.
·         Common Variable Hypogamaglobulinemia
CVH menyerupai hipogamaglobulinemia Bruton. Penyakit berhubungan dengan insiden autoimun yang tinggi. Meskipun jumlah sel B dan Ig normal, kemampuan memproduksi dan atau melepas Ig mengalami gangguan. Kadar Ig serum menurun seiring dengan memberatnya penyakit. Fungsi CMI biasanya baik, tetapi kadang juga defektif.
CVH dapat mengenai pria maupun wanita, sebabnya belum diketahui. Penyakit dapat timbul setiap saat, biasanya antara usia 15-35 tahun. Penderita menunjukkan peningkatan kerentanan terhadap infeksi kuman piogenik. Selain itu sering ditemukan pula penyakit autoimun. Seperti halnya dengan penyakit Bruton, kadar semua kelas Ig sangat menurun. Bedanya adalah bahwa penderita dengan CVH mengandung sel B tetapi tidak mampu berkembang menjadi sel plasma yang memproduksi Ig. Beberapa penderita menunjukkan kelebihan sel Ts yang mengganggu respon sel B.
Pengobatan CVH adalah dengan memberikan Ig bila disertai infeksi yang terus menerus atau berulang kali. Beberapa penderita dapat hidup sampai usia 70-80 tahun. Wanita dengan penyakit tersebut dapat hamil dan melahirkan bayi dengan normal meskipun tidak ada IgG yang dialihkan ke anak.
·         Defisiensi Imunoglobulin yang selektif (disgamaglobulinemia)
Defisiensi Ig yang selektif (digamaglobulinemia) adalah penurunan kadar 1 atau lebih Ig, sedang kadar Ig yang lain adalah normal atau meningkat. Defisiensi IgA selektif ditemukan pada 1 dari 700 orang dalam masyarakat dan merupakan defisiensi imun tersering. Klinis menunjukkan gambaran infeksi sino-pulmoner dan gastrointestinal rekuren yang disebabkan virus atau bakteri. Hal tersebut menunjukkan tidak adanya proteksi dari sIgA pada permnukaan membran mukosa. Penderita juga menunjukkan peningkatan insidens autoimun, keganasan dan alergi. Anehnya ialah bahwa beberapa penderita diantaranya tetap sehat. Pengobatannya yaitu dengan antibiotik spektrum luas. Prognosis pada umumnya baik dan penderita dapat mencapai usia lanjut. Kadar serum IgA rendah, tetapi kadar IgG, IgM adalah normal atau meningkat. Ditemukan sel B yang mengandung IgA, tetapi defek dalam kemampuannya melepas Ig.
HGG sebaiknya tidak diberikan oleh karena penderita dengan kadar IgA yang sangat rendah dapat membentuk antibodi (IgG atau IgE) terhadap IgA dan menimbulkan sensitasi anafilaksis pada resipien tanpa IgA. Terapi agresif dengan antibiotik harus diberikan untuk mengontrol infeksi.
Defisfiensi IgM selektif merupakan hal yang jarang terjadi. Penderita sering menunjukkan infeksi kuman yang mengandung polisakarida dalam membran selnya seperti pneumokok dan influenza. Defisiensi IgG selektif lebih jarang ditemukan.

b.      Defisiensi imun primer sel T
Penderita dengan defisiensi sel T kongenital sangat rentan terhadap infeksi virus, jamur dan protozoa. Oleh karena sel T juga berpengaruh terhadap aktivitas dan poliferasi sel B, maka defisiensi sel T disertai pula dengan gangguan produksi Ig yang nampak dari tidak adanya respon terhadap vaksinasi (Gambar 17.4).
·         Aplasi timus kongenital (sindrom DiGeorge)
Penyebab sindrom DiGeorge adalah defisiensi sel Tdengan sebab tidak diketahui. Penderita tidak atau sedikit memiliki sel T dalam darah, KGB dan limpa. Defisiensi tersebut disebabkan oleh defek dalam perkembangan embrio dari lengkung faring ke 3 dan 4, yang terjadi pada sekitar 12 minggu sesudah gestasi. Baik kelenjar timus maupun kelenjar paratiroid terkena. Bayi menunjukkan gejala hipokalsemi selama 24 jam pertama sesudah lahir yang sering disertai dengan kelainan jantung dan ginjal kongenital.
Sindrom DiGeorge tidak diturunkan. Bayi dengan sindrom DiGeorge juga menunjukkan infeksi kronik oleh virus, bakteri, jamur, protozoa dan mikrobakteria rekuren. Hipoparatiroidism dapat menimbulkan tetani hipokalsemia. Penampilan muka berubah, berbentuk mulut ikan dengan telinga letak rendah.
Meskipun sel B, sel plasma dan kadar Ig dalam serum normal,banyak penderita dengan sindrom DiGeorge tidak mampu membentuk antibodi setelah vaksinasi. Pengobatannya ialah transplantasi dengan timus fetal. Perbaikan terjadi dengan timbulnya sel T satu minggu kemudian. Timus fetal yang digunakan hendaknya tidak lebih tua dari 14 minggu agar dapat menghindari reaksi GVH yang terjadi bila limfosit matang diberikan ke donor yang imunodefisien. Prognosisnya buruk bila tidak diobati. 
·         Kandidiasis mukokutan kronik
KMK adalah infeksi jamur biasa yang nonpatogenik seperti K.albikans pada kulit dan selaput lendir yang disertai dengan gangguan fungsi sel T yang selektif. Penderita menunjukkan imunitas selular yang normal terhadap mikroorganisme selain kandida dengan imunitas yang humoral yang normal. Jumlah limfosit total normal, tetapi sel T menunjukkan kemampuan yang kurang untuk memproduksi MIF dalam respon terhadap antigen kandida, meskipun respon terhadap antigen lain normal. Reaksi kulit lambat/ DTH terhadap kandida juga negatif.
Transplantasi timus memberikan hasil yang bervariasi. Penderita perlu diobservasi sejak awitan disfungsi endokrin, terutama penyakit Addison yang merupakan sebab utama kematian. Penyakit tersebut mengenai pria dan wanita terutama anak. KMK biasanya disertai disfungsi berbagai kelenjar endokrin seperti adrenal dan paratiroid. Respons antibodi dan antifungal terhadap kandida adalah normal.

c.       Defisiensi kombinasi sel B dan sel T yang berat
·         Severe combined immunodeficiency disease
SCID adalah defisiensi kombinasi sel B dan sel T yang berat (Gambar 17.5). Penderita dengan SCID rentan terhadap infeksi virus, bakteri, jamur dan protozoa terutama CMV. Pneumosistis karini dan kandida. Gejala mulai terlihat pada usia muda dan bila tidak diobati jarang dapat hidup melebihi usia satu tahun. Tidak adanya sel B dan T terlihat dari limfositopenia. Kepada penderita dengan SCID tidak boleh diberikan vaksin hidup/dilemahkan oleh karena dapat fatal. Bayi dapat ditolong dengan transplantasi sumsum tulang.
·         Sindrom nezelof
Sindrom nezelof adalah golongan penyakit dengan gambaran imun yang sama. Semua penderita dengan sindrom ini rentan terhadap infeksi rekuren berbagai mikroba. Imunitas sel T nampak jelas menurun. Defisiensi sel B variabel dan kadar Ig spesifik dapat rendah, normal atau meningkat (disgama-globulinemia). Respon antibodi terhadap antigen spesifik biasanya rendah atau tidak ada.
·         Sindrom wiskott-aldrich
WAS menunjukkan trombositopeni, ekzem dan infeksi rekuren oleh mikroba. IgM serum rendah, kadar IgG normal sedang IgA dan IgE meningkat. Isohemaglutinin ditemukan dalam jumlah sedikit atau tidak ada. Jumlah sel B normal, tidak memberikan respon terhadap antigen polisakarida untuk memproduksi antibodi. Imunitas sel T biasanya baik pada fase dini, tetapi mengurang dengan progres penyakit.
WAS mengenai usia muda dengan gejala trombositopenia, eksim dan infeksi rekuren. Sering terjadi perdarahan dan infeksi bakteri yang rekuren dan menimbulkan otitis media, meningitis serta pneumoni akibat kadar IgM yang rendah dalam serum. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena penderita tidak mampu memberikan respon terhadap antigen polisakarida, di samping ada kerentanan terhadap leukimia. Pengobatannya adalah dengan antibiotik dan transplantasi sumsum tulang.
·         Ataksia telangiektasi
AT adalah penyakit autosomal resesif mengenai syaraf, endokrin dan sistem vaskular. Ciri klinisnya berupa gerakan otot yang tidak terkoordinasi stag-gering gait) dan dilatasi pembuluh darah kecil (telangiektasi) yang jelas dapat dilihat di sklera mata, limfopenia, penurunan IgA, IgE dan kadang-kadang IgG. Penyakit timbul pertama pada anak di bawah usia 2 tahun dan berhubungan dengan infeksi sinopulmoner berulang. Pada penderita yang lebih tua dapat timbul karsinoma.
·         Defisiensi adenosin deaminase
Adenosin deaminase tidak ditemukan dalam semua sel. Hal ini berbahaya oleh karena bila hal itu terjadi, kadar bahan toksik berupa ATP dan deoksi-ATP dalam sel limfoid akan meningkat.

2.2.2  Defisiensi Imun Spesifik Fisiologik
a.      Kehamilan
Defisiensi imun selular dapat ditemukan pada kehamilan. Keadaan ini mungkin diperlukan untuk kelangsungan hidup fetus yang merupakan allograft dengan antigen paternal. Hal tersebut antara lain disebabkan karena terjadinya peningkatan aktivitas sel Ts atau efek supresif faktor humoral yang dibentuk trofoblast. Wanita hamil memproduksi Ig yang meningkat atas pengaruh estrogen. IgG diangkut melewati plasenta oleh reseptor Fc pada akhir hamil 10 minggu.


b.      Usia tahun pertama
Sistem imun pada anak usia 1 tahun pertama sampai usia 5 tahun masih belum matang. Meskipun neonatus menunjukkan jumlah sel T yang tinggi, semuanya berupa sel naif dan tidak memberikan respon yang adekuat terhadap antigen. Antibodi janin disintesis pada awal minggu ke 20, tetapi kadar IgG dewasa baru dicapai pada usia sekitar 5 tahun. Pada usia beberapa bulan pertama, bayi tergantung dari IgG ibu.
Susu ibu juga merupakan sumber proteksi pada usia dini dan mencegah infeksi paru dan saluran cerna. Bayi yang mendapat minuman botol, 60x lebih beresiko untuk menderita pneumonia pada usia 3 bulan pertama. Bayi prematur lebih mudah mendapat infeksi oleh karena lebih sedikit menerima imunnoglobulin ibu selama akhir-akhir kehamilan.

c.       Usia lanjut
Golongan usia lanjut lebih sering mendapat infeksi dibanding usia muda. Hal ini disebabkan oleh karena terjadi atrofi timus dengan fungsi yang menurun. Akibat involusi timus, jumlah sel T naik dan kualitas respon sel T makin berkurang. Jumlah sel T memori meningkat tetapi semakin sulit untuk berkembang. Terutama sel CD8+ dan sel Th1 sangat menurun, diduga oleh karena aktivitas apoptosis. Sitokin Th2, IL-6 meningkat sedang IL-2 menurun.
Defisiensi selular sering disertai dengan meningkatnya kejadian kanker, kepekaan terhadap infeksi misalnya tuberkulosis. Herpes zoster, gangguan penyembuhan infeksi dan fenomena autoimun. Penyakit lanjut disebabkan oleh penurunan aktivitas sel T. Pada usia 60 tahun, jaringan timus hampir seluruhnya diganti oleh lemak dan edukasi sel T dalam timus hampir hilang. Jadi pejamu tergantung dari persediaan sel T yang sudah diproduksi sebelumnya pada usia lebih muda. Juga dengan mengurangnya repertoine, kemampuan sel T pada usia lanjut untuk berkembang adalah terbatas. Hal itu akan menurunkan respons CMI. Pada usia lanjut, imunitas humoral juga menurun yang terlihat dari perubahan dalam kualitas respons antibodi yang mengenai :
·         Spesifisitas antibodi dari autoantigen yang asing
·         Isotop antibodi dari IgG dan IgM
·         Afinitas antibodi dari tinggi menjadi rendah
Hal tersebut disebabkan oleh menurunnya kemampuan sel T untuk menginduksi pematangan sel B. Di samping itu terjadi penurunan produksi sel B dalam sumsum tulang yang mengurangi kemajemukan sel B, namun sel B yang sudah tua masih menunjukkan respon terhadap mikroba seumur hidup.
Sintesis imunoglobulin meningkat dan adanya pertumbuhan klon sel B dapat menimbulkan para-protein atau keganasan sel B. Proses tersebut dipacu oleh virus Epstein-Barr. Autoantibodi juga lebih sering ditemukan pada usia lanjut. Menurunnya respon imun akan menurunkan pula respon terhadap vaksinisasi, sehingga resiko infeksi pada usia lanjut akan meningkat. Nutrisi buruk pada usia lanjut sering cenderung menimbulkan defisiensi imun sekunder yang ringan namun berarti.

2.2.3  Defisiensi imun didapat atau sekunder
Imunodefisiensi didapat atau sekunder sering ditemukan. Defisiensi tersebut mengenai fungsi fagosit dan limfosit yang dapat terjadi akibat infeksi HIV, malnutrisi, terapi sitotoksik dan lainnya. Defisiensi imun sekunder dapat meningkatkan kerentanan tehadap infeksi oportunistik. Faktor-faktor yang dapat menimbulkan defisiensi sekunder terlihat pada tabel 17.4.
a.      Infeksi
Infeksi dapat menimbulkan defisiensni imun. Malaria dan rubela kongenital dapat berhubungan dengan difisiensi antibodi. Campak sudah diketahui berhubungan dengan defek imunitas selular yang menimbulkan reaktivasi tuberkulosis. Hal-hal tersebut dapat terjadi bersama pada penderita sakit berat. Campak dan virus lain dapat menginfeksi tubuh dan menginduksi supresi DTH sementara. Jumlah sel T dalam sirkulasi dan respon limfosit terhadap antigen dan mitogen menurun. Hal yang sama dapat terjadi setelah imunisasi dengan campak. Pada beberapa keadaan, infeksi virus dan bakteri dapat menekan sistem imun. Kehilangan imunitas selular terjadi pada penyakit campak, mononukleosis, hepatitis virus, sifilis, bruselosis, lepra, tuberkulosis milier dan parasit.

b.      Obat, trauma, tindakan kateterisasi dan bedah
Obat sering menimbulkan defisiensi imun sekunder. Tindakan kateterisasi dan bedah dapat menimbulkan imunokompromais. Antibiotik dapat menekan sistem imun. Obat sitotoksik, gentamisin, amikain, tobramisin dapat mengganggu kemotaksis neutrofil. Tetrasiklin dapat menekan imunitas selular. Kloramfenikol dapat menekan respons antibodi, sedangkan rifampisin dapat menekan baik imunitas humoral maupun selular. Jumlah neutrofil yang berfungsi sebagai fagosit dapat menurun akibat pemakaian obat kemoterapi, analgesik, antihistamin, antitiroid, antikonvulsi, penenang dan antibiotik. Steroid dalam dosis tinggi dapat menekan fungsi sel T dan inflamasi.
Penderita yang mendapat trauma (luka bakar atau tindakan bedah besar/ mayor) akan kurang mampu menghadapi patogen. Sebabnya tidak jelas, mungkin karena penglepasan faktor yang menekan respon imun.

c.       Penyinaran
Penyinaran dosis tinggi menekan seluruh jaringan limfoid, sedang dosis rendah dapat menekan aktivitas sel Ts secara selektif.

d.      Penyakit berat
Defisiensi imun didapat bisa terjadi akibat berbagai penyakit yang menyerang jaringan limfoid seperti penyakit Hodgkin, mieloma multipel, leukimia dan limfosarkoma. Uremia dapat menekan sistem imun dan menimbulkan defisiensi imun. Gagal ginjal dan diabetes menimbulkan defek fagosit sekunder yang mekanismenya belum jelas. Imunoglobulin juga dapat menghilang melalui usus pada diare.

e.       Kehilangan imunoglobulin
Defisiensi imunoglobulin dapat terjadi karena tubuh kehilangan protein yang berlebihan seperti pada penyakit ginjal dan diare. Pada sindrom nefrotik terjadi kehilangan protein dan penurunan IgG dan IgA yang berarti, sedang IgM tetap normal. Pada diare (limfangiektasi intestinal, protein losing enteropaty) dan luka bakar terjadi kehilangan protein.

f.       Agamaglobulinemia dengan timoma
Agamaglobulinemia dengan timoma disertai dengan menghilangnya sel B total dari sirkulasi. Eosinopenia atau aplasia sel darah merah dapat pula menyertai agamaglobulinemia. Berbagai faktor predisposisi yang dapat menimbulkan imunokompromais terlihat pada tabel 17.5

2.2.4  Acquired Immune Deficiency Syndrome
Beberapa jenis virus dapat mengganggu respon imun dengan menekan fungsi sistem imun atau dengan menginfeksi sel sistem, contoh fenomena yang baik adalah AIDS.
AIDS adalah penyakit yang disebabkan oleh virus yang disebut HIV. Pada umumnya AIDS disebabkan HIV-1, dan beberapa kasus seperti di Afrika tengah disebabkan HIV-2 yang merupakan homolog HIV-1. Keduanya merupapkan virus lenti yang menginfeksi sel CD4+ T yang memiliki reseptor dengan afinitas tinggi untuk HIV, makrofag dan jenis sel lain. Transmisi virus terjadi melalui cairan tubuh yang terinfeksi seperti hubungan seksual, homoseksual, penggunaan jarum yang terkontaminasi, transfusi darah atau produk darah seperti hemofili dan bayi yang dilahirkan ibu dengan HIV.

a.      Struktur HIV
Struktur virus HIV-1 terdiri atas 2 untaian RNA identik yang merupakan genom virus yang berhubungan dengan p17 dan p24 berupa inti polipeptida. Semua komponen tersebut diselubungi envelop membran fosfolipid yang berasal dari sel pejamu. Protein gp120 dan gp41 yang disandi virus ditemukan dalam envelop. Retrovirus HIV terdiri dari lapisan envelop luar glikoprotein yang mengelilingi suatu lapisan ganda lipid. Kelompok antigen internal menjadi protein inti dan penunjang.
RNA-directed DNA polymerase (reverse transcriptase) adalah polimerase DNA dalam retrovirus seperti HIV dan virus Sarkoma Rouse yang dapat digunakan RNA template untuk memproduksi hibrid DNA. Transverse transcriptase diperlukan dalam teknik rekombinan DNA yang diperlukan dalam sintesis first strand CDNA.
Antigen p24 adalah core antigen virus HIV, yang merupakan pertanda terdini adanya infeksi HIV-1, ditemukan beberapa hari-minggu sebelum terjadi serokonversi sintesis anntibodi terhadap HIV-1. Antigen gp120 adalah glikoprotein permukaan HIV-1 yang mengikat reseptor CD4+ pada sel T dan makrofag. Usaha sintesis reseptor CD4+ ini telah digunakan untuk mencegah antigen gp120 menginfeksi sel CD4+.
Gen envelop sering bermutasi. Hal tersebut menyebabkan perubahan sebagai berikut : jumlah CD4 perifer menurun, fungsi sel T yang terganggu terlihat in vivo (gagal memberikan respon terhadap antigen recall) dan uji invitro, aktivasi poliklonal sel B menimbulkan hipergamaglobulinemia, antibodi yang dapat menetralkan antigen gp120 dan gp41 diproduksi tetapi tidak mencegah progres penyakit oleh karena kecepatan mutasi virus yang tinggi, sel Tc dapat mencegah infeksi (jarang) atau memperlambat progres. Protein envelop adalah produk yang menyandi gp120, digunakan dalam usaha memproduksi antibodi yang efektif dan produktif oleh penjamu.



b.      Siklus Hidup HIV
Siklus hidup HIV berawal dari infeksi sel, produksi DNA virus dan integrasi ke dalam genom, ekpresi gen virus dan produksi partikel virus. Virus menginfeksi sel dengan menggunakan glikoprotein envelop yang disebut gp120 (120kD glikoprotein) yang terutama mengikat sel CD4+ dan reseptor kemokin (CXCR4 dan CCR5) dari sel manusia. Oleh karena itu virus hanya dapat menginfeksi dengan efisiensi sel CD4+. Makrofag dan sel dendritik juga dapat diinfeksinya.
Setelah virus berikatan dengan reseptor sel, membran virus bersatu dengan membran sel pejamu dan virus masuk sitoplasma. Disini envelop virus dilepas oleh protease virus dan RNA menjadi bebas. Kopi DNA dari RNA virus disintesis oleh enzim transkriptase dan kopi DNA bersatu dengan DNA pejamu. DNA yang terintegrasi disebut provirus. Provirus dapat diaktifkan, sehingga diproduksi RNA dan protein virus. Sekarang virus mampu membentuk struktur inti, bermigrasi ke membran sel, memperoleh envelop lipid dari sel pejamu, dilepas berupa partikel virus yang dapat menular dan siap menginfeksi sel lain. Integrasi provirus dapat tetap laten dalam sel terinfeksi untuk berbulan-bulan atau tahun, sehingga tersembunyi dari sistem imun pejamu, bahkan dari terapi antivirus (Gambar 17.8).
A.    Setelah HIV masuk ke dalam sel dan membentuk dsDNA, terjadi integrasi virus dengan genom sel pejamu yang membentuk provirus.
1.      gp 120 HIV berikatan dengan CD4 pada sel sasaran
2.      Domain fusigenik pada gp41 dan CXCR-4 memfasilitasi fusi
3.      Nukleokapsin memasuki sel
4.      Genom virus dan enzim dilepas setelah dikeluarkan dari core protein
5.      Reverse transcriptse virus mengkatalisasi reverse transkripase ssRNA, membentuk hibrida RNA-DNA
6.      Kisi-kisi RNA asli dipecah oleh ribonuklease H diikuti sintesis DNA sekunder memasuki dsDNA HIV
7.      dsDNA virus ditranslokasikan ke nukleus dan diintegrasi ke DNA kromosom pejamu oleh enzim integrasi virus
B.     Provirus tetap laten sampai kejadian dalam sel terinfeksi memacu aktivavsi virus, yang membentuk dan melepas partikel virus.
1.      Faktor transkripsi merangsang transkripsi DNA provirus ke dalam ssRNA genom sesudah diproses beberapa mRNA.
2.      mRNA virus diekspor ke sitoplasma.
3.      - kromosom sel pejamu berfungsi menegkatalisasi sintesis protein prekursor virus
-       Protease virus diikat prekursor ke protein virus
4.      ssRNA HIV dan protein bersatu dibawah membran sel pejamu, tempat diinsersikan gp41 dan gp120
5.      – Budding membran yang keluar membentuk envelop virus
– Partikel virus yang dilepas melengkapkan pematangan protein prekursor yang diikat oleh protease virus dari partikel virus.
C.     Meskipun CD4+diikat envelop glikoprotein HIV-1, reseptor kedua masih diperlukan untuk masuk dan menmimbulkan infeksi sel. Galur HIV-1 yang tropik untuk sel T, menggunakan koreseptor CXR4, sedang galur yang tropik untuk makrofag menggunakan CCR5. Keduanya merupakan reseptor untuk kemokin, dan ligam normalnya dapat mencegah infeksi sel oleh HIV.

c.       Patogenesis
Virus biasanya masuk tubuh dengan menginfeksi sel Langerhans di mukosa rektum atau mukosa vagina yang kemudian bergerak dan bereplikasi di KGB setempat. Virus kemudian disebarkan melalui viremia yang disertai dengan sindrom dini akut berupa panas, mialgia dan artralgia. Pejamu memberikan respon seperti terhadap infeksi virus umumnya. Virus menginfeksi sel CD4+, makrofag dan sel dendritik dalam darah dan organ limfoid.
Antigen virus nukleokapsid, p24 dapat ditemukan dalam darah selama fase ini. Fase ini kemudian dikontrol sel T CD8+ dan antibodi dalam sirkulasi terhadap p42 dan protein envelop gp120 dan gp41. Efikasi sel Tc dalam mengontrol virus terlihat dari menurunnya kadar virus. Respon imun tersebut menghancurkan HIV dalam KGB yang merupakan reservoir utama HIV selama fase selanjutnya dan fase laten.
Dalam folikel limfoid, virus terkonsentrasi dalam bentuk kompleks imun yang diikat SD. Meskipun hanya kadar rendah virus diproduksi dalam fase laten, destruksi sel CD4+ berjalan terus dalam kelenjar limfoid. Akhirnya jumlah sel CD4+ dalam sirkulasi menurun. Hal itu dapat memerlukan beberapa tahun. Kemudian menyusul fase progresif kronis dan penderita merjadi rentan terhadap berbagai infeksi oleh kuman nonpatogenik (gambar 17.9).

Setelah HIV masuk ke dalam sel dan terbentuk dsDNA, integrasi DNA viral ke dalam genom sel pejamu membentuk provirus. Provirus tetap laten sampai kejadian dalam sel terinfeksi mencetuskan aktivitasnya, yang mengakibatkan terbentuk dan penglepasan partikel virus. Walau CD4 berikatan dengan envelop glikoprotein HIV-1, diperlukan reseptor kedua supaya dapat masuk dan terjadi infeksi. Galur tropik sel T HIV-1 menggunakan koreseptor CXCR4, sedangkan galur tropik makrofag menggunakan CCR5.
Kedua reseptor ini merupakan reseptor kemokin dan ligan normalnya dapat menghambat infeksi HIV ke dalam sel. Subjek yang baru terinfeksi HIV dapat disertai gejala atau tidak. Gejala utama berupa sakit kepala, sakit tenggorokan, panas, ruam dan malese yang terjadi sekitar 2-6 minggu setelah infeksi, tetapi dapat terjadi antara 5 hari dan 3 bulan (Tabel 17.8 dan 17.9).


Gejala klinis infeksi primer dapat berupa demam, nyeri otot/sendi, lemah, mukokutan (ruam kulit, ulkus dimulut), limfadenopati, neurologis (nyeri kepala, nyeri belakang mata, fotofobia, meningitis, ensefalitis) dan saluran cerna (anoreksia, nausea, diare, jamur dimulut). Gejala-gejala bervariasi dari ringan sampai berat sehingga memerlukan perawatan dirumah sakit.
Gambaran klinis dan manifestasi patologik AIDS disebabkan primer oleh peningkatan kerentanan terhadap infeksi dan beberapa jenis kanker. Penderita sering diinfeksi mikroba intraseluler seperti virus (CMV), mikrobakteri atipik yang pada keadaaan normal dapat ditanggulangi oleh sistem imun selular. Banyak mikroba tersebut ditemukan dalam lingkungan tetapi tidak menginfeksi individu dengan sistem imun uttuh.
Virus yang ditularkan melalui darah (viremia plasma) yang ditemukan dini setelah terjadi infeksi yang dapat disertai gejala sistemik khas untuk sindrom HIV akut. Virus menyebar ke organ limfoid, tetapi viremia plasma menurun sampai kadar yang sangat rendah (hanya ditemukan dengan esai yang menggunakan cara reverse transcriptase polymerase chain reaction yang sensitif) dan hal tersebut dapat menetap untuk beberapa tahun. Sel CD4+ perlahan menurun selama masa klinis laten. Hal itu disebabkan oleh karena replikasi virus yang aktif dan destruksi sel T yang terjadi dijaringan limfoid. Menurunnya kadar sel CD4+ disertai peningkatan resiko infeksi dan komponen klinis HIV yang lain. Perubahan dalam antigen p24 dan antibodi ditemukan pada penderita dengan penyakit lanjut.
Penderita AIDS lanjut sering disertai berat badan menurun yang disebabkan perubahan metabolisme dan kurangnya kalori yang masuk tubuh. Demensia dapat terjadi akibat infeksi mikroglia (makrofag dalam otak).

d.      Serologi
Penderitaan AIDS membentuk antibodi dan menunjukkan respon CTL terhadap antigen virus. Namun respon tersebut tidak mencegah progres penyakit. CTL juga tidak efektif membunuh virus oleh karena virus mencegah sel terinfeksi untuk mengekspresikan MHC-1. Antibodi terhadap glikoprotein envelop seperti gp120 dapat inefektif, oleh karena virus cepat memutasikan regio gp120 yang merupakan sasaran antibodi. Respon imun HIV justru dapat meningkatkan penyebaran penyakit. Virus yang dilapisi antibodi dapat berikatan dengan Fc-R pada makrofag dan sel dendritik dikelenjar limfoid, sehingga meningkatkan virus masuk ke dalam sel-sel tersebut dan menciptakan reservoir baru. Bila CTL berhasil menghancurkan sel terinfeksi, virus akan dilepas dan menginfeksi lebih banyak sel.
Satu sampai tiga minggu pasca infeksi, ditemukan respon imun spesifik HIV berupa antibodi terhadap protein gp120 dan p24. Juga ditemukan sel T sitotoksik yang HIV spesifik. Dengan adanya respon imun adaptif tersebut, viremia menurun dan klinis tidak disertai gejala. Hal itu berlangsung 2-12 tahun. Dengan menurunnya jumlah sel CD4+, penderita menunjukkan gejala klinis. Antibodi HIV spesifik dan sel T sitotoksik menurun, sedang p24 meningkat. Perjalanan infeksi HIV ditandai oleh beberapa fase yang berakhir dalam defisiensi imun. Jumlah sel CD4+ dalam darah mulai menurun di bawah 200/mm3 (normal 1500 sel/mm3) dan penderita menjadi rentan terhadap infeksi dan disebut menderita AIDS. Dalam 3-6 minggu pasca infeksi, ditemukan kadar antigen HIV p24 dalam plasma yang tinggi.

3.      Manifestasi Klinik dan Diagnosis
Dalam penegakan diagnosis defisiensi imun, penting ditanyakan riwayat kesehatan pasien dan keluarganya, sejak masa kehamilan, persalinan dan morbiditas yang ditemukan sejak lahir secara detail. Riwayat pengobatan yang pernah didapat juga harus dicatat, disertai keterangan efek pengobatannya, apakah membaik, tetap atau memburuk. Bila pernah dirawat, operasi atau transfusi juga dicatat. Riwayat imunisasi dan kejadian efek simpangnya juga dicari.
Walaupun penyakit defisiensi imun tidak mudah untuk didiagnosis, secara klinis terdapat berbagai tanda dan gejala yang dapat membimbing kita untuk mengenal penyakit ini (Tabel 28-8). Sesuai dengan gejala dan tanda klinis tersebut maka dapat diarahkan terhadap kemungkinan penyakit defisiensi imun.
Defisiensi antibodi primer yang didapat lebih sering terjadi dibandingkan dengan yang diturunkan, dan 90% muncul setelah usia 10 tahun. Pada bentuk defisiensi antibodi kongenital, infeksi rekuren biasanya terjadi mulai usia 4 bulan sampai 2 tahun, karena IgG ibu yang ditransfer mempunyai proteksi pasif selama 3-4 bulan pertama. Beberapa defisiensi antibodi primer bersifat diturunkan melalui autosom resesif atauX-linked. Defisiensi imunoglobulin sekunder lebih sering terjadi dibandingkan dengan defek primer.
Pemeriksaan fisik defisiensi antibodi jarang menunjukkan tanda fisik diagnostik, meskipun dapat menunjukkan infeksi berat sebelumnya, seperti ruptur membran timpani dan bronkiektasis. Tampilan klinis yang umum adalah gagal tumbuh.
Pemeriksaan laboratorium penting untuk diagnosis. Pengukuran imunoglobulin serum dapat menunjukkan abnormalitas kuantitatif secara kasar. Imunoglobulin yang sama sekali tidak ada (agamaglobulinemia) jarang terjadi, bahkan pasien yang sakit berat pun masih mempunyai IgM dan IgG yang dapat dideteksi. Defek sintesis antibodi dapat melibatkan satu isotop imunoglobulin, seperti IgA atau grup isotop, seperti IgA dan IgG. Beberapa individu gagal memproduksi antibodi spesifik setelah imunisasi meskipun kadarimunoglobulin serum normal. Sel B yang bersirkulasi diidentifikasi dengan antibodi monoklonal terhadap antigen sel B. Pada darah normal, sel-sel tersebut sebanyak 5-15% dari populasi limfosit total. Sel B matur yang tidak ada pada individu dengan defisiensi antibodi membedakan infantile X-linked agammaglobulinaemia dari penyebab lain defisiensi antibodi primer dengan kadar sel B normal atau rendah.

Gejala klinis penyakit defisiensi imun
Gejala yang biasanya dijumpai :
-   Infeksi saluran napas atas berulang
-   Infeksi bakteri yang berat
-   Penyembuhan inkomplit antar episode infeksi, atau respons pengobatan inkomplit
Gejala yang sering dijumpai :
-   Gagal tumbuh atau retardasi tumbuh
-   Jarang ditemukan kelenjar atau tonsil yang membesar
-   Infeksi oleh mikroorganisma yang tidak lazim
-   Lesi kulit (rash, ketombe, pioderma, abses nekrotik/noma, alopesia, eksim, teleangiektasi, warts yang hebat)
-   Oral thrush yang tidak menyembuh dengan pengobatan
-   Jari tabuh
-   Diare dan malabsorpsi
-   Mastoiditis dan otitis persisten
-   Pneumonia atau bronkitis berulang
-   Penyakit autoimun
-   Kelainan hematologis (anemia aplastik, anemia hemolitik, neutropenia, trombositopenia)
Gejala yang jarang dijumpai :
-   Berat badan turun
-   Demam
-   Periodontitis
-   Limfadenopati
-   Hepatosplenomegali
-   Penyakit virus yang berat
-   Artritis atau artralgia
-   Ensefalitis kronik
-   Meningitis berulang
-   Pioderma gangrenosa
-   Kolangitis sklerosis
-   Hepatitis kronik (virus atau autoimun)
-   Reaksi simpang terhadap vaksinasi
-   Bronkiektasis
-   Infeksi saluran kemih
-   Lepas/puput tali pusat terlambat (> 30 hari)
-   Stomatitis kronik
-   Granuloma
-   Keganasan limfoid
(Dikutip dari Stiehm, 2005)
4.      Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang merupakan sarana yang sangat penting untuk mengetahui penyakit defisiensi imun. Karena banyaknya pemeriksaan yang harus dilakukan (sesuai dengan kelainan klinis dan mekanisme dasarnya) maka pada tahap pertama dapat dilakukan pemeriksaan penyaring dahulu, yaitu:
-    Pemeriksaan darah tepi
-    Hemoglobin
-    Leukosit total
-    Hitung jenis leukosit (persentasi)
-    Morfologi limfosit
-    Hitung trombosit
-    Pemeriksaan imunoglobulin kuantitatif (IgG, IgA, IgM, IgE)
-    Kadar antibodi terhadap imunisasi sebelumnya (fungsi IgG)
-    Titer antibodi Tetatus, Difteri
-    Titer antibodi H.influenzae
-    Penilaian komplemen (komplemen hemolisis total = CH50)
-    Evaluasi infeksi (Laju endap darah atau CRP, kultur dan pencitraan yang sesuai)
Langkah selanjutnya adalah melakukan pemeriksaan lanjutan berdasarkan apa yang kita cari.
Pemeriksaan lanjutan pada penyakit defisiensi imun :
Defisiensi Sel B
Uji Tapis:
-   Kadar IgG, IgM dan IgA
-   Titer isoaglutinin
-   Respon antibodi pada vaksin (Tetanus, difteri, H.influenzae)
Uji lanjutan:
-   Enumerasi sel-B (CD19 atau CD20)
-   Kadar subklas IgG
-   Kadar IgE dan IgD
-   Titer antibodi natural (Anti Streptolisin-O/ASTO, E.coli
-   Respons antibodi terhadap vaksin tifoid dan pneumokokus
-   Foto faring lateral untuk mencari kelenjar adenoid
Riset: 
-   Fenotiping sel B lanjut
-   Biopsi kelenjar
-   Respons antibodi terhadap antigen khusus misal phage antigen
-   Ig-survival in vivo
-   Kadar Ig sekretoris
-   Sintesis Ig in vitro
-   Analisis aktivasi sel
-   Analisis mutasi

Defisiensi sel T
Uji tapis:
-   Hitung limfosit total dan morfologinya
-   Hitung sel T dan sub populasi sel T : hitung sel T total, Th dan Ts
-   Uji kulit tipe lambat (CMI) : mumps, kandida, toksoid tetanus, tuberkulin
-   Foto sinar X dada : ukuran timus
Uji lanjutan: 
-   Enumerasi subset sel T (CD3, CD4, CD8)
-   Respons proliferatif terhadap mitogen, antigen dan sel alogeneik
-   HLA typing
-   Analisis kromosom
Riset:
-   Advance flow cytometry
-   Analisis sitokin dan sitokin reseptor
-   Cytotoxic assay (sel NK dan CTL)
-   Enzyme assay (adenosin deaminase, fosforilase nukleoside purin/PNP)
-   Pencitraan timus dab fungsinya
-   Analisis reseptor sel T
-   Riset aktivasi sel T
-   Riset apoptosis
-   Biopsi
-   Analisis mutasi

Defisiensi fagosit
Uji tapis:
-   Hitung leukosit total dan hitung jenis
-   Uji NBT (Nitro blue tetrazolium), kemiluminesensi : fungsi metabolik neutrofil
-   Titer IgE
Uji lanjutan: 
-   Reduksi dihidrorhodamin
-   White cell turn over
-   Morfologi spesial
-   Kemotaksis dan mobilitas random
-   Phagocytosis assay
-   Bactericidal assays
Riset: 
-   Adhesion molecule assays (CD11b/CD18, ligan selektin)
-   Oxidative metabolism
-   Enzyme assays (mieloperoksidase, G6PD, NADPH)
-   Analisis mutasi

Defisensi komplemen
Uji tapis:
-   Titer C3 dan C4
-   Aktivitas CH50
Uji lanjutan: 
-   Opsonin assays
-   Component assays
-   Activation assays (C3a, C4a, C4d, C5a)
Riset:
-   Aktivitas jalur alternatif
-   Penilaian fungsi(faktor kemotaktik, immune adherence)


5.      Pengobatan
5.1        Garis umum
Pengobatan penderita dengan defisiensi imun antara lain adalah dengan menggunakan antibiotik/antiviral yang tepat, pemberian pooled human imunoglobulin yang teratur. Transplantasi sumsum tulang dari donor dan resepien yang memiliki hubungan genetik yang cocok telah dilakukan dengan hasil yang baik pada beberapa kasus. Transplantasi timus fetal telah pula dilakukan pada aplasi timus. Komplikasi yang dapat terjadi akibat transplantasi yaitu bila jaringan transplantasi menyerang sel pejamu – Graft Versus – Host (GVH) reaction. Iradiasi kelenjar getah bening total kadang memberikan hasil yang lebih baik dibanding iradiasi seluruh tubuh dalam mengontrol reaksi GVH.

5.2        Tujuan pengobatan
Tujuan pengobatan penderita dengan penyakit defisiensi imun umumnya adalah untuk mengurangi kejadian dan dampak infeksi seperti menjauhi subjek dengan penyakit menular, memantau penderita terhadap infeksi, menggunakan antibiotik/antivial yang benar, imunisasi aktif atau pasif bila memungkinkan dan memperbaiki komponen sistem imun yang detektif dengan transfer pasiff atau transplantasi.

5.3        Pemberian globulin gama
Globulin gama diberikan kepada penderita dengan defisiansi Ig tertentu (tidak pada defisiensi IgA).

5.4        Pemberian sitokin
Pemberian infus sitokin seperti IL-2, GM-CSF, M-CSF dan IFN kepada subyek dengan penyakit tertentu


5.5        Transfusi
Transfusi diberikan dalam bentuk neutrofil kepada subyek dengan defesiensi fagosit dan pemberian limfosit autologus yang sudah menjalani transfeksi dengan gen adenosin deaminase (ADA) untuk mengobati ACID.

5.6        Transplantasi
Transplantasi timus fetal atau stem cell dari sumsum tulang dilakukan untuk memperbaiki kompetensi imun.

5.7        Obat antivirus
Ada beberapa strategi yang dapat digunakan dalam pengembangan obat efektif. Siklus virus HIV menunjukkan beberapa titik rentan yang diduga dapat dicegah obat antiviral. Ada 2 jenis obat antivirus yang digunakan untuk mengobati infeksi HIV dan AIDS. Analog nukleotide mencegah aktivitas reverse transcriptase seperti timidine-AZT, dideoksinosin dan dideoksisitidin yang dapat mengurangi kadar RNA HIV dalam plasma. Biasanya obat-obat tersebut tidak berhasil menghentikan progres penyakit oleh karena timbulnya bentuk mutasi reverse traskriptase yang resisten terhadap obat. Inhibitor protease virus sekarang digunakan untuk mencegah proses protein prekursr menjadi kapsid virus matang dan protei core.
Terapi dewasa ini menggunakan kombinasi tiga obat yang terdiri atas protease inhibitor dengan 2 inhibitor reverse transkriptase yang terpisah. Hal itu digunakan untuk menurunkan kadar RNA virus dalam plasma menjadi sangat rendah.untul lebih dari satu tahun. Perlu pengamatan terhadap kemungkinan terjadinya resistensi. Resistensi terhadap inhibitor protease dapat terjadi setelah pemberian beberapa hari. Resistensi terhadap zidovudin (atau azidotimidin) dapat terjadi setelah pemberian beberapa bulan.

5.8        Vaksinasi
Pengembangan vaksin untuk mencegah penyebaran AIDS merupakan penelitian yang diprioritaskan para ahli imunologi dan dewasa ini vaksinasi terhadap AIDS masih belum dapat dikembangkan.

5.9        Terapi genetik
Terapi gen somatik menunjukkan harapan dalam terapi penyakit genetik. Prosedur tersebut antara lain dilakukan dengan menyisipkan gen normal ke populasi sel yang terkena penyakit. Hasil sementara menunjukkan bahwa limfosit T perifer mempunyai kemampuan terbatas untuk berproliferasi. Untuk pengobatan jangka panjang akan diperlakukan penyisipan gen ke sel asal sumsum tulang yang pleuripoten. Namun hal tersebut masih sulit untuk dilakukan dan diperlukan studi lebih lanjut.

5.10    Terapi potensial
AIDS disebabkan oleh berbagai virus varian retrovirus HIV yang tergolong virus lenti, oleh karena menimbulkan penyakit dengan perkembangan lambat. Virus merupakan virus RNA yang memiliki enzim unik, reverse transcriptase yang diperlukan untuk sintesis dsDNA spesifik dari genom viral RNA. DNA baru diintegrasikan dalam genom sel terinfeksi dan banyak yang tetap laten dalam sel. Bila diaktifkan, DNA digunakan sebagai templat RNA yang diperlukan untuk produksi virus. Virus dilepas dipermukaan sel dan envelop virus dibentuk dari membran sel pejamu, diubah oleh insersi glikoprotein virus. Dewasa ini obat dengan aktivitas anti HIV menegah virus masuk, mencegah tahap reverse transcription RNA ke cDNA atau mencegah prekursor protein virus membelah diri dalam protein yang diperlukan untuk membentuk virion baru dan melengkapi pematangannya pada virus infeksius. Reverse transcriptase dapat dicegah tidak hanya oleh analog nukleosid tetapi juga oleh analog nukleotid dan bahan non-nukleotid.













BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
            Defisiensi Imun muncul ketika satu atau lebih komponen sistem Imun tidak aktif, kemampuan sistem Imun untuk merespon patogen berkurang pada baik golongan muda dan golonga tua, respon imun berkurang pada usia 50 tahun, respon juga dapat terjadi karena penggunaan Alkohol dan narkoba adalah akibat paling umum dari fungsi imun yang buruk, namun, kekurangan nutrisi adalah akibat paling umum yang menyebabkan difisiensi imun di negara berkembang.
Defisiensi imun dan peradangan menghambat kemampuan tubuh untuk berespons terhadap infeksi atau cidera dan dapat terjadi akibat gangguan fungsi sebagian atau semua sel darah putih.
Sebelum dilakukan pengobatan, sebaiknya dilakukan dahulu penanganan lanjutan seperti pemeriksaan hemoglobin, pemeriksaan darah tepi, menghitung trombosit, menghitung jumlah leukosit total. Pengobatan ini dilakukan untuk mengurangi kejadian dan dampak infeksi seperti menjauhi subjek dengan penyakit menular, memantau penderita terhadap infeksi.


  

DAFTAR PUSTAKA
-    Radji, Maksum. Imunologi dan Virologi. Jakarta: PT. ISFI. 2010
-    Tambayong, dr. Jan. Patofisiologi Untuk Keperawatan. Jakarta : EGC. 2000

-     

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

MAKALAH Iodo - Iodimetri

Iodo-Iodimetri BAB I PENDAHULUAN I.1  Latar Belakang Titrasi iodometri dan iodimetri adalah salah satu metode titrasi yang didasarkan pada reaksi oksidasi reduksi. Metode ini lebih banyak digunakan dalam analisa jika dibandingkan dengan metode lain. Alasan dipilihnya metode ini karena perbandingan stoikometri yang sederhana pelaksanannya praktis dan tidak benyak masalah dan mudah. Iodimetri adalah jika titrasi terhadap zat-zat reduktor dengan titrasi langsung dan tidak langsung. Dilakukan percobaan ini untuk menentukan kadar zat-zat oksidator secara langsung, seperti yang kadar terdapat dalam serbuk vitamin C. Titrasi tidak langsung iodometri dilakukan terhadap zat-zat oksidator berupa garam-garam besi (III) dan tembaga sulfat dimana zat-zat oksidator ini direduksi dahulu dengan KI dan iodin dalam jumlah yang setara dan ditentukan kembali dengan larutan natrium tiosulfat baku. Dalam bidang farmasi metode ini digunakan untuk menentukan kadar zat-zat yang mengandung oksi

Reseach and Development (R&D)

1.       Departemen Reseach and Development (R&D) Departemen R&D merupakan Inti ( Core ) dari industri farmasi. Penelitian yang dilakukan R&D terkait dengan inovasi produk baru dan perubahan formula produk lama dengan tujuan meningkatkan mutu, stabilitas dan kenyamanan suatu produk.penelitian dan pengembangan terhadap produk selalu dilakukan secara berkesinambungan mengikuti Trend ilmu pengetahuan, teknologi dan regulasi. Dalam pengembangan produk terbagi dalam 3 bagian: 1)       Formulasi Development (ForDev) Formulasi Development (ForDev) bertugas dalam pengembangan formulasi, mentransfer formula ke proses, dan pengembangan produk. Apabila formula tersebut memenuhi syarat , formula tersebuut akan doiserahkan kepada bagian AnDev untuk dianalisa. 2)       Analytical Development (AnDev) Analytical Development (AnDev) bertugas dalam pengembagan analisa produk baik itu bahan baku ataupun bahan tambahan yang telah disusun oleh tim ForDev. Outputnya adalah met

Makalah ANTIDIABETES

MAKALAH TOKSIKOLOGI TOKSIKOLOGI ANTIDIABETES BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Diabetes melitus merupakan penyakit yang ditandai dengan terjadinya hiperglikemi di dalam tubuh. Sebagian besar orang-orang menyebutnya dengan penyakit kencing manis. Biasanya para penderita DM akan disertai dengan berbagai gejala seperti poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan  berat badan. Apabila tidak dilakukan perawatan dan pengontrolan pengobatan yang baik pada penderita DM, maka akan menyebabkan berbagai penyakit menahun seperti serebrovaskular, penyakit jantung koroner, penyakit  pembuluh darah tungkai dan lain sebagainya. Penyebab diabetes dapat disebabkan berbagai hal seperti keturunan, pola hidup yang tidak sehat, dan lain-lain. Penderita diabetes pun setiap tahunnya semakin bertambah. S ejalan dengan perubahan gaya hidup termasuk pola makan masyarakat Indonesia diperkirakan penderita d iabetes melitus ini semakin meningkat, terutama pada kelompok umur dewasa keata