Skip to main content

Makalah ANTIDIABETES

MAKALAH TOKSIKOLOGI
TOKSIKOLOGI ANTIDIABETES


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Diabetes melitus merupakan penyakit yang ditandai dengan terjadinya hiperglikemi di dalam tubuh. Sebagian besar orang-orang menyebutnya dengan penyakit kencing manis. Biasanya para penderita DM akan disertai dengan berbagai gejala seperti poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan  berat badan. Apabila tidak dilakukan perawatan dan pengontrolan pengobatan yang baik pada penderita DM, maka akan menyebabkan berbagai penyakit menahun seperti serebrovaskular, penyakit jantung koroner, penyakit  pembuluh darah tungkai dan lain sebagainya. Penyebab diabetes dapat disebabkan berbagai hal seperti keturunan, pola hidup yang tidak sehat, dan lain-lain. Penderita diabetes pun setiap tahunnya semakin bertambah.
Sejalan dengan perubahan gaya hidup termasuk pola makan masyarakat Indonesia diperkirakan penderita diabetes melitus ini semakin meningkat, terutama pada kelompok umur dewasa keatas pada seluruh status sosial ekonomi. Saat ini upaya penanggulangan penyakit diabetes melitus belum menempati skala prioritas utama dalam pelayanan kesehatan, walaupun diketahui dampak negatif yang ditimbulkannya cukup besar antara lain komplikasi kronik pada penyakit jantung kronis, hipertensi, otak, system saraf, hati, mata dan ginjal.
Penatalaksanaan diabetes mellitus dengan terapi obat dapat menimbulkan masalah-masalah terkait obat yang dialami oleh penderita. Masalah terkait obat merupakan keadaan terjadinya ketidaksesuaian dalam pencapaian tujuan terapi sebagai akibat pemberian obat. Aktivitas untuk meminimalkannya merupakan bagian dari proses pelayanan kefarmasian.
Pada penyakit ini tidak digunakan istilah sembuh, tetapi dikatakan gula darah terkontrol, yaitu dapat dikendalikan dalam batas-batas normal.Pada dasarnya sasaran pengobatan penyakit diabetes yang utama adalah senantiasa menjaga gula darah normal, dengan gula darah normal terus, kemungkinan timbulnya penyakit lain (komplikasi) menjadi berkurang. Untuk menjaga gula darah normal, salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan menggunakan obat diabetes atau sering disebut Obat Hipoglikemik Oral (OHO) atau terapi insulin, oleh karena itu perlu dilakukan evaluasi penggunaan obat diabetes yang digunakan untuk memastikan kesesuaian antara obat diabetes dengan kondisi penderita diabetes mellitus.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan diabetes
2.      Apa saja gejala klinik dari diabetes
3.      Apa faktor resiko dari diabetes
4.      Bagaimana penatalaksanaan terapi pada diabetes
5.      Bagaimana toksisitas pada obat-obat diabetes

C.    Tujuan
·           Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan diabetes
·           Untuk memahami gejala klinik dari diabetes
·           Untuk mengetahui faktor resiko dari diabetes
·           Untuk mengetahui penatalaksanaan terapi pada diabetes
·           Untuk mengetahui toksisitas pada obat-obat diabetes



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.    Definisi
Diabetes mellitus merupakan suatu sindrom klinik yang ditandai oleh poliuri, polidipsi dan polifagi, disertai dengan peningkatan kadar glukosa darah atau hiperglikemia (glukosa puasa ≥126mg/dL atau postprandial ≥200mg/dL atau glukosa sewaktu ≥200mg/dL). Hiperglikemia timbul akibat berkurangnya insulin,sehingga glukosa darah tidak dapat masuk ke sel-sel otot, jaringan adiposa atau hepar dan metabolismenya terganggu. Pada DM, glukosa tidak dapat masuk ke sel sehingga energi utama diperoleh dari metabolisme lemak dan protein (Suherman, 2007).
Diabetes mellitus sering disebut sebagai the great imitator (peniru yang handal), karena penyakit ini dapat menyerang semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan (Waspadji, 1996).

B.     Klasifikasi Diabetes
American Diabetes Assosiation (ADA), memperkenalkan klasifikasi diabetes berdasarkan pengetahuan mutakhir mengenai patogenesis sindrom diabetes dan gangguan toleransi glukosa. Terdapat empat klasifikasi klinis gangguan toleransi glukosa, yaitu DM tipe 1, tipe 2, diabetes gestasional (kehamilan) dan tipe lain (akibat kelainan genetik, penyakit, obat dan infeksi) (Schteingart, 2006).
Diabetes tipe 1, merupakan akibat dari perusakan autoimun sel beta pankreas dibuktikan dengan diagnosis pada 90% orang terdapat sejumlah kecil selantibodi, antibodi untuk asam glutamat dekarboksilase dan antibodi untuk insulin. Pada umumnya diderita anak-anak dan remaja, namun dapat terjadi pada umur berapa pun. Pada usia muda terjadi laju kecepatan perusakan sel beta ditandai dengan ketoasidosis, ketika dewasa sering dipelihara dengan sekresi insulin yang cukup untuk mencegah ketoasidosis untuk beberapa tahun (Triplitt et al., 2005).
Diabetes tipe 2, karakteristik dari tipe ini adalah resisten insulin sehingga relatif kurangnya sekresi insulin. Kebanyakan penderita tipe ini disertai obesitas, hal ini yang menyebabkan resisten insulin. Hipertensi, dislipidemia dan peningkatan level plasminogen aktivator inhibitor-1 (PAI-1) juga ditunjukkanpada penderita tipe ini. Ketidak normalan ini sering disebut ”insulin resistancesyndrome” (Triplitt et al., 2005).


Perbedaan DM tipe 1 dengan DM tipe 2
Diabetes gestasional, akibat peningkatan sekresi berbagai hormon sehingga mempunyai efek metabolik terhadap toleransi glukosa, pasien yang mempunyai predisposisi diabetes secara genetik mungkin akan memperlihatkan intoleransi glukosa atau manifestasi klinis diabetes pada kehamilan (Schteingart,2006). Deteksi klinik diabetes ini sangat penting, hal ini untuk mengurangi angka mortalitas dan morbiditas perinatal (Triplitt et al., 2005).
Diabetes tipe lain, merupakan diabetes yang disebabkan kelainan genetik fungsi sel beta (MODY 1, MODY 2, MODY 3 dan DNA mitokondria). Penyebablain yaitu penyakit pada eksokrin pankreas (pankreatitis, trauma/pankreatektomi, neoplasma, cistic fibrosis, hemokromatosis, pankreatopati fibro kalkulus). Dapat juga disebabkan adanya penyakit endokrin, pemakaian obat/zat kimia(glukokortikoid, hormon tiroid, asam nikotinat, pentamidin, tiazid, dilantin daninterferon) dan akibat infeksi (Anonim, 2005).

C.    Faktor Risiko
Setiap orang yang memiliki satu atau lebih faktor risiko diabetes selayaknya waspada akan kemungkinan dirinya mengidap diabetes. Para petugas kesehatan, dokter, apoteker dan petugas kesehatan lainnya pun sepatutnya memberi perhatian kepada orang-orang seperti ini, dan menyarankan untuk melakukan beberapa pemeriksaan untuk mengetahui kadar glukosa darahnya agar tidak terlambat memberikan bantuan penanganan. Karena makin cepat kondisi diabetes melitus diketahui dan ditangani, makin mudah untuk mengendalikan kadar glukosa darah dan mencegah komplikasi-komplikasi yang mungkin terjadi.


D.    Gejala Klinik
Diabetes seringkali muncul tanpa gejala. Namun demikian ada beberapa gejala yang harus diwaspadai sebagai isyarat kemungkinan diabetes. Gejala tipikal yang sering dirasakan penderita diabetes antara lain poliuria (sering buang air kecil), polidipsia (sering haus), dan polifagia (banyak makan/mudah lapar). Selain itu sering pula muncul keluhan penglihatan kabur, koordinasi gerak anggota tubuh terganggu, kesemutan pada tangan atau kaki, timbul gatal-gatal yang seringkali sangat mengganggu (pruritus), dan berat badan menurun tanpa sebab yang jelas.
·        Pada DM Tipe I gejala klasik yang umum dikeluhkan adalah poliuria, polidipsia, polifagia, penurunan berat badan, cepat merasa lelah (fatigue), iritabilitas, dan pruritus (gatal-gatal pada kulit).
·        Pada DM Tipe 2 gejala yang dikeluhkan umumnya hampir tidak ada. DM Tipe 2 seringkali muncul tanpa diketahui, dan penanganan baru dimulai beberapa tahun kemudian ketika penyakit sudah berkembang dan komplikasi sudah terjadi. Penderita DM Tipe 2 umumnya lebih mudah terkena infeksi, sukar sembuh dari luka, daya penglihatan makin buruk, dan umumnya menderita hipertensi, hiperlipidemia, obesitas, dan juga komplikasi pada pembuluh darah dan syaraf.

E.     Komplikasi
Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik dapat menimbulkan komplikasi akut dan kronis. Berikut ini akan diuraikan beberapa komplikasi yang sering terjadi dan harus diwaspadai.
a.       Hipoglikemia
Sindrom hipoglikemia ditandai dengan gejala klinis penderita merasa pusing, lemas, gemetar, pandangan berkunang-kunang, pitam (pandangan menjadi gelap), keluar keringat dingin, detak jantung meningkat, sampai hilangkesadaran. Apabila tidak segera ditolong dapat terjadi kerusakan otak dan akhirnya kematian.
Pada hipoglikemia, kadar glukosa plasma penderita kurang dari 50 mg/dl, walaupun ada orang-orang tertentu yang sudah menunjukkan gejala hipoglikemia pada kadar glukosa plasma di atas 50 mg/dl. Kadar glukosa darah yang terlalu rendah menyebabkan sel-sel otak tidak mendapat pasokan energi sehingga tidak dapat berfungsi bahkan dapat rusak.
Hipoglikemia lebih sering terjadi pada penderita diabetes tipe 1, yang dapat dialami 1 – 2 kali perminggu. Dari hasil survei yang pernah dilakukan di Inggeris diperkirakan 2 – 4% kematian pada penderita diabetes tipe 1 disebabkan oleh serangan hipoglikemia. Pada penderita diabetes tipe 2, serangan hipoglikemia lebih jarang terjadi, meskipun penderita tersebut mendapat terapi insulin.Serangan hipoglikemia pada penderita diabetes umumnya terjadi apabila penderita:
·         Lupa atau sengaja meninggalkan makan (pagi, siang atau malam)
·         Makan terlalu sedikit, lebih sedikit dari yang disarankan oleh dokter atau ahli gizi
·         Berolah raga terlalu berat
·         Mengkonsumsi obat antidiabetes dalam dosis lebih besar dari pada seharusnya
·         Minum alkohol
·         Stress
·         Mengkonsumsi obat-obatan lain yang dapat meningkatkan risiko hipoglikemia.
Disamping penyebab di atas pada penderita DM perlu diperhatikan apabila penderita mengalami hipoglikemik, kemungkinan penyebabnya adalah:
·         Dosis insulin yang berlebihan
·         Saat pemberian yang tidak tepat
·         Penggunaan glukosa yang berlebihan misalnya olahraga anaerobik berlebihan
·         Faktor-faktor lain yang dapat meningkatkan kepekaan individu terhadap insulin, misalnya gangguan fungsi adrenal atau hipofisis
b.      Hiperglikemia
Hiperglikemia adalah keadaan dimana kadar gula darah melonjak secara tiba-tiba. Keadaan ini dapat disebabkan antara lain oleh stress, infeksi, dan konsumsi obat-obatan tertentu. Hiperglikemia ditandai dengan poliuria, polidipsia, polifagia, kelelahan yang parah (fatigue), dan pandangan kabur. Apabila diketahui dengan cepat, hiperglikemia dapat dicegah tidak menjadi parah. Hipergikemia dapat memperburuk gangguan-gangguan kesehatan seperti gastroparesis, disfungsi ereksi, dan infeksi jamur pada vagina. Hiperglikemia yang berlangsung lama dapat berkembang menjadi keadaan metabolisme yang berbahaya, antara lain ketoasidosis diabetik (Diabetic Ketoacidosis = DKA) dan (HHS), yang keduanya dapat berakibat fatal dan membawa kematian. Hiperglikemia dapat dicegah dengan kontrol kadar gula darah yang ketat.
c.       Komplikasi Makrovaskular
3 jenis komplikasi makrovaskular yang umum berkembang pada penderita diabetes adalah penyakit jantung koroner (coronary heart disease = CAD), penyakit pembuluh darah otak, dan penyakit pembuluh darah perifer (peripheral vascular disease = PVD). Walaupun komplikasi makrovaskular dapat juga terjadi pada DM tipe 1, namun yang lebih sering merasakan komplikasi makrovaskular ini adalah penderita DM tipe 2 yang umumnya menderita hipertensi, dislipidemia dan atau kegemukan. Kombinasi dari penyakit-penyakit komplikasi makrovaskular dikenal dengan berbagai nama, antara lain Syndrome X, Cardiac Dysmetabolic Syndrome, Hyperinsulinemic Syndrome, atau Insulin Resistance Syndrome.
Karena penyakit-penyakit jantung sangat besar risikonya pada penderita diabetes, maka pencegahan komplikasi terhadap jantung harus dilakukan sangat penting dilakukan, termasuk pengendalian tekanan darah, kadar kolesterol dan lipid darah. Penderita diabetes sebaiknya selalu menjagatekanan darahnya tidak lebih dari 130/80 mm Hg. Untuk itu penderita harus dengan sadar mengatur gaya hidupnya, termasuk mengupayakan berat badan ideal, diet dengan gizi seimbang, berolah raga secara teratur, tidak merokok, mengurangi stress dan lain sebagainya.
d.      Komplikasi Mikrovaskular
Komplikasi mikrovaskular terutama terjadi pada penderita diabetes tipe 1. Hiperglikemia yang persisten dan pembentukan protein yang terglikasi (termasuk HbA1c) menyebabkan dinding pembuluh darah menjadi makin lemah dan rapuh dan terjadi penyumbatan pada pembuluh-pembuluh darah kecil. Hal inilah yang mendorong timbulnya komplikasi-komplikasi mikrovaskuler, antara lain retinopati, nefropati, dan neuropati. Disamping karena kondisi hiperglikemia, ketiga komplikasi ini juga dipengaruhi oleh faktor genetik. Oleh sebab itu dapat terjadi dua orang yang memiliki kondisi hiperglikemia yang sama, berbeda risiko komplikasi mikrovaskularnya. Namun demikian prediktor terkuat untuk perkembangan komplikasi mikrovaskular tetap lama (durasi) dan tingkat keparahan diabetes.
Satu-satunya cara yang signifikan untuk mencegah atau memperlambat jalan perkembangan komplikasi mikrovaskular adalah dengan pengendalian kadar gula darah yang ketat. Pengendalian intensif dengan menggunakan suntikan insulin multi-dosis atau dengan pompa insulin yang disertai dengan monitoring kadar gula darah mandiri dapat menurunkan risiko timbulnya komplikasi mikrovaskular sampai 60%.

F.     Penatalaksanaan Diabetes
a.       Terapi Tanpa Obat
1.      Pengaturan diet, diet yang baik merupakan kunci keberhasilan terapi diabetes. Diet yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi seimbang terkait dengan karbohidrat, protein, dan lemak. Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stress akut, dan kegiatan fisik yang pada dasarnya ditujukan untuk mencapai dan mempertahankan berat badan ideal. Penuruan berat badan telah dibuktikan dapat mengurangi resistensi insulin dan memperbaiki respon sel –sel beta terhadap stimulus glukosa.
2.      Olahraga, berolahraga secara teratur akan menurunkan dan menjaga kadar gula darah tetap normal.

b.      Terapi Obat
1.      Insulin
Insulin merupakan protein yang berukuran kecil dengan berat molekul 5808 pada manusia. Insulin mengandung 51 asam amino yang tersusun dalam 2 rantai yang dihubungkan dengan jembatan disulfida. Insulin diproduksi langsung di dalam sel β pankreas (Nolte dan Karam, 2002).
Terdapat empat tipe utama insulin yang tersedia, yaitu insulin kerja cepat (rapid acting insulin), insulin kerja pendek (short acting insulin), insulin kerja menengah (intermediate acting insulin) dan insulin kerja panjang (long acting insulin) (Anonim, 2006a).
Rapid acting insulin, yaitu insulin lispro. Diabsorbsi sangat cepat ketika disuntikkan secara subkutan dan mencapai puncak dalam serum dalam jangka waktu 1 jam. Masa kerja insulin lispro tidak lebih dari 3-4 jam (Nolte dan Karam, 2002).
Short acting insulin, insulin reguler dengan masa kerja pendek yang efeknya terjadi dalam waktu 30 menit setelah penyuntikan subkutan dan berlangsung selama 5-7 jam (Nolte dan Karam, 2002).
Intermediate acting insulin dan long acting insulin, insulin lente dengan mula kerja yang lebih lambat dan dengan masa kerja yang panjang. Atau insulin ultralente, yang mula kerjanya lama namun dapat memberikan efek dalam jangka waktu yang panjang (Nolte dan Karam, 2002).

2.      Antidiabetik oral
a.       Golongan Sulfonilurea
Kerja dari obat ini adalah dengan merangsang sekresi insulin dari granul sel-sel β langerhans pankreas. Rangsangannya melalui interaksi dengan ATPsensitiveK channel pada membran sel-sel β yang menimbulkan depolarisasi membran dan keadaan ini akan membuka kanal Ca++, sehingga ion Ca++ akanmasuk sel β, merangsang granula yang berisi insulin dan akan terjadi sekresiinsulin dengan jumlah yang ekuivalen dengan peptida-C. Selain itu, sulfonilurea juga dapat mengurangi klirens insulin di hepar (Suherman, 2007).
Sulfonilurea diklasifikasikan menjadi 2, yaitu generasi pertama dan generasi kedua. Penggolongan ini didasarkan perbedaan pada potensi efek terapi, potensi efek samping selektif dan penempelan pada protein serum. Yang termasukdalam generasi pertama meliputi asetoheksamid, klorpropamid, tolazamid dantolbutamid. Sedangkan sulfonilurea golongan kedua adalah glimepirid, glipizid dan gliburid, yang mempunyai potensi hipoglikemi lebih besar dari generasi pertama (Triplitt et al., 2005).
Sulfonilurea jika digunakan bersama obat lain (insulin, alkohol, fenformin,sulfonamid, salisilat dosis besar, fenilbutazon, oksifenbutazon, probenezid,dikumarol, kloramfenikol, penghambat MAO, guanetidin, anabolik steroidfenfluramin dan klofibrat) akan meningkatkan risiko hipoglikemia (Suherman,2007).
b.      Meglitinid
Mekanisme kerja obat golongan ini hampir sama dengan sulfonilurea.Golongan ADO ini merangsang insulin dengan menutup kanal K yang ATP-independent di sel β pankreas. Repaglinid dan nateglinid merupakan golonganobat ini. Absorbsinya cepat saat diberikan secara oral dan mencapai kadar puncaknya dalam waktu 1jam. Waktu paruhnya 1jam, maka harus diberikan beberapa kali dalam sehari, pada waktu sebelum makan. Obat ini mengalami metabolisme di hati (utamanya), 10% dimetabolisme di dalam ginjal. Efek samping utama hipoglikemia dan gangguan saluran pencernaan, juga reaksi alergi (Suherman, 2007).
c.       Biguanid
Fenformin, buformin dan metformin merupakan golongan biguanid. Namun yang sering digunakan adalah metformin, fenformin telah ditarik dariperedaran karena dapat menyebabkan asidosis laktat (Suherman, 2007).Di Amerika Serikat, metformin merupakan satu-satunya obat biguanidyang tersedia sejak tahun 1995. Metformin meningkatkan sensitivitas insulin padahepar juga pada jaringan otot disekitarnya. Hal ini meningkatkan pengambilan glukosa ke dalam jaringan sensitif insulin (Triplitt et al., 2005).
Biguanid merupakan suatu antihiperglikemik, tidak merangsang sekresi insulin dan umumnya tidak menyebabkan hipoglikemik. Metformin oral diabsorbsi di intestin dan tidak terikat dengan protein plasma di dalam darah dan diekskresi melalui urin. Metformin diminum pada saat makan, pada pasien DMyang tidak memberikan respon terhadap sulfonilurea, dapat diberikan metformin atau digunakan sebagai terapi kombinasi bersama insulin atau sulfonilurea (Suherman, 2007).
d.      Tiazolidimedion
Antidiabetik oral ini juga disebut dengan golongan tiazolidinedion, termasuk dalam golongan ini yang tersedia secara komersial adalah rosiglitazon dan pioglitazon. Obat golongan ini mampu meningkatkan sensitivitas insulin terhadap jaringan sasaran, diduga memiliki aktivitas untuk mengurangi resistensi insulin dengan meningkatkan ambilan glukosa dan metabolisme dalam otot dan jaringan adipose. Agen ini juga menahan glukoneogenesis di hati dan memberikan efek tambahan pada metabolisme lemak, steroidogenesis di ovarium, tekanan darah sistemik dan sistem fibrinolitik (Suherman, 2007).
e.       Penghambat α-glukosidase
Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim alfaglukosidase di dalam saluran cerna sehingga dapat menurunkan hiperglikemia postprandial, bekerja di lumen usus, tidak menyebabkan hipoglikemia dan tidak mempengaruhi kadar insulin. Efek samping yang ditimbulkan dapat berupa gejala gastrointestinal, flatulen dan diare (Waspadji, 1996). Yang termasuk dalam golongan ini adalah akarbose dan miglitol (Suherman, 2007).

BAB III
PEMBAHASAN
A.    Toksisitas Insulin
Toksisitas insulin sangat berbahaya. Toksisitas dari overdosis insulin adalah hipoglikemia. Durasi dari efek hipoglikemia tergantung pada jenis insulin yang disuntikkan, jumlah dan usia, resistensi insulin dan faktor – faktor lain yang dapat meningkatkan atau mengurangi sensitivitas pasien terhadap insulin. Kematian akibat overdosis insulin adalah sebesar 25%. Efek fatal bisa terjadi dengan dosis paling minimum 20 unit, tapi dosis 400 sampai 900 unit atau lebih adalah lebih sering terjadi.
Otak sangat bergantung pada glukosa darah sebagai sumber energi utamanya, hipoglikemia menyebabkan gejala perubahan fungsi sistem saraf, yang mencakup kebingungan, iritabilitas, kejang dan koma. Hipoglikemia dapat menyebabkan sakit kepala sebagai akibat dari perubahan aliran darah serebral, dan perubahan keseimbangan cairan. Secara sistematis, hipoglikemia menyebabkan aktivasi sistem saraf simpatik, merangsang rasa lapar, berkeringat, dan takikardi.
Jaringan neural juga bergantung pada glukosa sebagai bahan bakar utamanya, hipoglikemia, atau kadar glukosa darah yang rendah memiliki pengaruh yang besar pada metabolisme otak. Perubahan fungsi otak merupakan gejala khas dari hipoglikemia.
Penurunan kadar glukosa darah secara cepat merangsang sekresi hormon yang memiliki fungsi yang berlawanan yang bekerja bersama – sama untuk mengembalikan ke keadaan normoglikemia.
Koma hipoglikemia berat dan kerusakan saraf permanent terjadi setelah injeksi 800 – 3200 unit insulin. Insulin yang terkonsumsi secara oral atau lewat mulut tidak bersifat racun karena tidak bisa diserap oleh tubuh.

B.     Toksisitas Golongan Sulfonilurea
Kerja utama sulfonilurea adalah meningkatkan sekresi insulin sehingga efektif hanya jika masih ada aktivitas sel beta pankreas; pada pemberian jangka lama sulfonilurea juga memiliki kerja di luar pankreas. Semua golongan sulfonilurea dapat menyebabkan hipoglikemia, tetapi hal ini tidak biasa terjadi dan biasanya menandakan kelebihan dosis. Hipoglikemia akibat sulfonilurea dapat menetap berjam-jam dan pasien harus dirawat di rumah sakit.
Sulfonilurea digunakan untuk pasien yang tidak kelebihan berat badan, atau yang tidak dapat menggunakan metformin. Pemilihan sulfonilurea diantara obat yang ada ditentukan berdasarkan efek samping dan lama kerja, usia pasien serta fungsi ginjal. Sulfonilurea kerja lama klorpropamid dan glibenklamid lebih sering menimbulkan hipoglikemia; oleh karena itu untuk pasien lansia obat tersebut sebaiknya dihindari dan sebagai alternatif digunakan sulfonilurea kerja singkat, seperti gliklazid atau tolbutamid. Klorpropamid juga mempunyai efek samping lebih banyak daripada sulfonilurea lain sehingga penggunaannya tidak lagi dianjurkan.
Peringatan: Sulfonilurea dapat meningkatan berat badan dan diresepkan hanya jika control buruk dan gejala tidak hilang walaupun sudah melakukan upaya diet yang memadai. Metformin dipertimbangkan sebagai obat pilihan untuk pasien kelebihan berat badan. Hati-hati digunakan pada pasien lansia dan pada pasien dengan gangguan fungsi hati dan ginjal ringan hingga sedang karena bahaya hipoglikemia. Tolbutamid kerja singkat dapat digunakan pada pasien dengan gangguan ginjal, begitu juga glikuidon dan gliklazid yang dimetabolisme di hati, tetapi diperlukan monitoring kadar glukosa darah, diperlukan dosis terkecil yang menghasilkan kontrol glukosa darah yang cukup.
Kontraindikasi: Sulfonilurea sedapat mungkin dihindari pada gangguan fungsi hati; gagal ginjal dan pada porfiria. Sulfonilurea sebainya tidak digunakan pada ibu menyusui dan selama kehamilan sebaiknya diganti dengan terapi insulin. Sulfonilurea dikontraindikasikan jika terjadi ketoasidosis.
Efek samping: umumnya ringan dan jarang, diantaranya gangguan gastrointestinal seperti mual, muntah, diare dan konstipasi. Klorpropamid memiliki efek samping lebih banyak karena durasi kerjanya yang lama dan risiko hipoglikemia sehingga tidak lagi digunakan. Juga dapat menyebabkan muka kemerahan setelah minum alkohol; efek ini tidak terjadi pada sulfonilurea lain. Klorpropamid juga dapat meningkatkan sekresi hormon antidiuretik dan sangat jarang menyebabkan hiponatremia (hiponatremia juga dilaporkan pada glimepirid dan glipizid).
Sulfonilurea dapat menyebabkan gangguan fungsi hati, yang mungkin menyebabkan jaundice kolestatik, hepatitis dan kegagalan fungsi hati meski jarang. Dapat terjadi reaksi hipersensitifitas, biasanya pada minggu ke 6-8 terapi, reaksi yang terjadi berupa alergi kulit yang jarang berkembang menjadi eritema multiforme dan dermatitis eksfoliatif, demam dan jaundice; jarang dilaporkan fotosensitivitas dengan klorpropamid dan glipizid. Gangguan darah juga jarang yaitu leukopenia, trombositopenia, agranulositosis, pansitopenia, anemia hemolitik, dan anemia aplastik.
a.       Klorpropamid (Generasi Pertama)
Mempunyai waktu paruh 32 jam dan di metabolisme di hati dengan lambat untuk menghasilkan beberapa aktivitas biologik : kira – kira 20-30% diekskresikan dalam bentuk tidak berubah di urin. Dosis pemeliharaan rata – rata adalah 250 mg per hari, diberikan sebagai dosis tunggal pada pagi hari. Dosis lebih dari 500 mg per hari dapat meningkatkan resiko ikterus, yang tidak lazim terjadi pada dosis yang lebih rendah. Penderita dengan predisposisi genetik dan mendapat klorpropamid bisa mengalami hiperemic flush bila minum alkohol. Hiponatrium karena pengenceran telah diketahui sebagai komplikasi terapi klorpropamid pada beberapa penderita. Tampaknya ini sebagai akibat perangsangan sekresi vasopressin dan potensiasi kerjanya pada tubulus ginjal oleh klorpropamid. Toksisitas hematologi (leukopenia selintas, trombositopenia) terjadi dalam julah kurang dari 1% penderita.
b.      Gliburide (Generasi Kedua)
Dimetabolisme di hati menjadi produk dengan aktivitas hipoglikemik yang sangat rendah. Awal dosis pemberian yang biasa adalah 2,5 mg/hari atau kurang, dan rata – rata dosis pemeliharaan adalah 5 – 10 mg/hari yang diberikan sebgai dosis tunggal pada pagi hari. Tidak dianjurkan untuk memberikan dosis pemeliharaan lebih dari 20 mg/hari.
Gliburide memiliki efek yang tidak diinginkan, selain dari potensinya untuk menyebabkan hipoglikemia. Efek toksiknya yaitu hipoglikemia. Konsumsi glyburide (2,5 mg) pada anak berusia 1 – 4 tahun dapat menyebabkan kondisi hipoglikemia.
c.       Gliklazid (Generasi Kedua)
Gliklazid memiliki efek hipoglikemia sedang sehingga jarang terjadi hipoglikemia. Mempunyai efek anti egregasi yang lebih poten. Efek samping lainnya yaitu reaksi pada kulit dan jaringan subkutan, gangguan hematologi, gangguan sistem hepato-biliari, peningkatan kadar enzim hati dan gangguan visual.
Dosis awal 40 – 80 mg 1 kali sehari; ditentukan berdasarkan respon hingga 160 mg diberikan bersama sarapan. Dosis lebih tinggi diberikan terbagi, maksimal 240 mg/hari dalam 1 – 2 kali.
d.      Glikuidon
Mempunyai efek hipoglikemik sedang dan jarang menimbulkan serangan hipoglikemia. Obat ini hampir seluruhnya diekskresi melalui empedu dan usus. Dosis awal 15 mg sehari; sebelum makan pagi, disesuaikan hingga 45 – 60 mg sehari dalam 2 atau 3 kali dosis terbagi. Dosis maksimum pemberian tunggal 60 mg, dosis maksimum 180 mg sehari.

C.    Toksisitas Metformin (Golongan Biguanida)
Metformin satu-satunya golongan biguanid yang tersedia, mempunyai mekanisme kerja yang berbeda dengan sulfonilurea, keduanya tidak dapat dipertukarkan. Efek utamanya adalah menurunkan glukoneogenesis dan meningkatkan penggunaan glukosa di jaringan. Karena kerjanya hanya bila ada insulin endogen, maka hanya efektif bila masih ada fungsi sebagian sel islet pankreas. Metformin merupakan obat pilihan pertama pasien dengan berat badan berlebih dimana diet ketat gagal untuk mengendalikan diabetes, jika sesuai bisa juga digunakan sebagai pilihan pada pasien dengan berat badan normal. Juga digunakan untuk diabetes yang tidak dapat dikendalikan dengan terapi sulfonilurea.
Hipoglikemia tidak terjadi dengan pemberian metformin; keuntungan lainnya jarang terjadi peningkatan berat badan dan penurunan kadar insulin plasma. Metformin tidak menyebabkan hipoglikemia pada pasien non diabetes kecuali diberikan dosis berlebih.
Efek samping saluran cerna pada awal pemberian metformin umum terjadi, dan dapat menetap pada beberapa pasien, terutama jika diberikan dosis sangat tinggi 3g per hari. Metformin dapat menyebabkan asidosis laktat yang banyak terjadi pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal, oleh karena itu jangan diberikan bahkan pada gangguan fungsi ginjal ringan.
Dosis ditentukan secara individu berdasarkan manfaat dan tolerabilitas. Dewasa & anak > 10 tahun : dosis awal 500 mg setelah sarapan untuk sekurang – kurangnya 1 minggu, kemudian 500 mg setelah sarapan dan makan malam sekurang – kurangnya 1 minggu, kemudian 500 mg setelah sarapan, setelah makan siang dan setelah makan malam. Dosis maksimum 2 g sehari dalam dosis terbagi.
D.    Toksisitas Akarbose (Golongan Penghambat α-glukosidase)
Obat ini dapat memperlambat absorpsi polisakarida, dekstrin, dan disakarida di intestin. Dengan menghambat kerja enzim -glikosidase di brush border intestin, dapat mencegah peningkatan glukosa plasma pada orang normal dan pasien DM. Karena kerjanya tidak mempengaruhi sekresi insulin, maka tidak akan menyebabkan efek samping hipoglikemia. Akarbose dapat digunakan sebagai monoterapi pada DM usia lanjut atau DM yang glukosa postprandialnya sangat tinggi. Obat golongan ini diberikan pada waktu mulai makan dan absorpsiburuk.
Akarbosa paling efektif bila diberikan bersama makanan yang berserat mengandung polisakarida, dengan sedikit kandungan glukosa dan sukrosa. Bila akarbosa diberikan bersama insulin, atau dengan golongan sulfonilurea, dan menimbulkan hipoglikemia, pemberian glukosa akan lebih baik daripada pemberian sukrosa, polisakarida, dan maltose (Departemen Farmakologi dan Terapi UniversitasIndonesia).
Akarbosa, merupakan penghambat alpha- glukosidase intestinal, yang memperlambat absorbsi karbohidrat dan sukrosa. Akarbosa mempunyai efek kecil tapi bermakna dalam menurunkan glukosa darah dan dapat digunakan tunggal atau sebagai penunjang terapi jika metformin atau sulfonilurea tidak memadai. Hiperglikemia postprandial pada diabetes tipe 1 (tergantung insulin) dapat dikurangi dengan akarbosa, tetapi sekarang jarang digunakan. Terjadinya flatulensi menghalangi penggunaan akarbosa walaupun efek samping ini cenderung menurun dengan waktu.
Efek samping dari acarbose yaitu flatulensi, tinja lunak, diare (mungkin perlu pengurangan dosis atau penghentian), perut kembung dan nyeri, mual (jarang), reaksi pada kulit dan fungsi hati yang tidak normal.
Dosis perlu disesuaikan oleh dokter secara individu karena efikasi dan tolerabilitas bervariasi. Dosis rekomendasi adalah: awal 3x1 tablet 50mg/hari, dilanjutkan dengan 3x1/2 tablet 100 mg/hari. Dilanjutkan dengan 3x2 tablet 50 mg atau 3x1-2 tablet 100 mg. Peningkatan dosis dapat dilakukan setelah 4-8 minggu, bila pasien menunjukkan respon tidak adekuat. Tak perlu penyesuaian dosis pada usia lanjut (>65 tahun).Tidak dianjurkan untuk anak dan remaja di bawah 18 tahun. Konseling: Tablet dikunyah bersama satu suapan pertama makanan atau ditelan utuh dengan sedikit air segera sebelum makan. Untuk mengantisipasi kemungkinan efek hipoglikemia, pasien yang mendapat insulin atau suatu sulfonilurea atau akarbosa harus selalu membawa glukosa (bukan sukrosa karena akarbosa mempengaruhi absorpsi sukrosa).

E.     Toksisitas Tiazolidindion dan Pioglitazon
Tiazolidindion dan pioglitazon, menurunkan resistensi insulin perifer, menyebabkan penurunan kadar glukosa darah. Obat ini juga digunakan tunggal atau kombinasi dengan metformin atau dengan sulfonilurea (jika metformin tidak sesuai), kombinasi tiazolindindion dan metformin lebih baik dari kombinasi tiazolidindion dan sulfonilurea terutama pada pasien dengan berat badan berlebih. Respon yang tidak memadai terhadap kombinasi metformin dan sulfonilurea menunjukkan kegagalan pelepasan insulin, pemberian pioglitazon tidak begitu penting pada keadaan ini dan pengobatan dengan insulin tidak boleh ditunda. Kontrol glukosa darah dapat memburuk sementara jika tiazolindindion diberikan sebagai pengganti obat antidiabetik oral yang sebelumnya digunakan dalam bentuk kombinasi dengan antidiabetik lain.
Kontra indikasi untuk pioglitazon yaitu gangguan hati, riwayat gagal jantung, kombinasi dengan insulin (risiko gagal jantung), kehamilan dan menyusui.
Efek samping dari pioglitazon : gangguan saluran cerna, bertambahnya berat badan, udema, anemia, sakit kepala, gangguan penglihatan, pusing, artralgia, hipoestesia, hematuria, impoten, hipohlikemia (jarang terjadi), lemah, insomnia, vertigo, berkeringat, mempengaruhi kadar lemak darah, proteinuria. Selain itu, ada keterangan toksisitas pada hati.
Dosis awal 15 – 30 mg satu kali sehari ditingkatkan menjadi 45 mg sehari disesuaikan dengan respon.

F.     Toksisitas Nateglinid dan Repaglinid
Nateglinid dan repaglinid menstimulasi pelepasan insulin. Kedua obat ini mempunyai mula kerja cepat dan kerja singkat, dan diminum dekat sebelum tiap kali makan. Repaglinid diberikan sebagai monoterapi pada pasien yang tidak kelebihan berat badan atau pada pasien yang kontraindikasi atau tidak tahan dengan metformin, atau dapat diberikan kombinasi dengan metformin. Nateglinid hanya disetujui digunakan bersama metformin.
Efek samping dari nateglinid : hipoglikemia, reaksi hipersensitif termasuk pruritus, kemerahan dan urtikaria. Sedangkan efek samping dari repaglinid : nyeri perut, diare, konstipasi, mual, muntah, hipoglikemia (jarang terjadi), reaksi hipersensitivitas termasuk pruritus, kemerahan, vaskulitus, urtikaria dan gangguan penglihatan.
Dosis untuk nateglinid : awal, 60 mg tiga kali sehari diberikan 30 menit sebelum makan, dosis maksimal 180 mg tiga kali sehari, anak dan remaja dibawah 18 tahun tidak dianjurkan.
Dosis untuk repaglinid : awal, 500 mcg, diberikan 30 menit sebelum makan (1 mg jika mendapat obat hipoglikemik oral lain) disesuaikan dengan respons pada interval 1-2 minggu, sampai 4 mg diberikan dosis tunggal, dosis maksimal 16 mg sehari, anak, remaja dibawah 18 tahun dan lanjut usia diatas 75 tahun tidak dianjurkan.

G.    Maifestasi Klinis Akibat Toksisitas/Keracunan Obat Antidiabetes
Hipoglikemia, kejadiannya bisa saja tertunda tergantung kepada jenis obat yang digunakan dan rute atau dengan cara apa obat digunakan ( oral, intra vena atau subkutan ). Tanda-tanda terjadinya hipoglikemia atau penurunan kadar gula darah  sampai level yang rendah adalah gemetar, bingung, koma, kejang-kejang, takikardia ( debaran jantung yang cepat ), dan diaforesis ( berkeringat  secara berlebihan )
Asidosis laktat akibat keracunan metformin dan phenformin dapat dimulai dengan tanda-tanda yang tidak spesifik seperti lemas, muntah, nyeri otot, dan tekanan pada pernapasan. Tingkat kematian akibat asidosis laktat yang berat dilaporkan mencapai 50%.

H.    Penanganan Bila Terjadi Efek Toksisitas
1.      Penambahan senyawa dari makanan.
Kelebihan dosis obat pada penyakit diabetes yang paling umum dan berbahaya adalah hipoglikemia. Maka seseorang yang mengkonsumsi obat – obat an antidiabetes harus mengenali efek samping yang ditimbulkan dari suatu obat sehingga penderita diabetes dapat mengenali gejala dari efek samping yang ditimbulkan.
Contohnya, seorang penderita diabetes harus selalu siap sedia dengan membawa permen seperti monojel atau glutose apabila terjadi penurunan darah secara drastis.
Namun bila seorang penderita diabetes mengalami hipoglikemia berat, penderita dapat mengalami hilangnya kesadaran. Jika mengalami kondisi seperti ini, penderita diabetes harus segera diberi suntikan glukagon (hormon yang dapat meningkatkan kadar gula darah dengan cepat) langsung pada otot atau vena. Biasanya dokter akan mengajarkan cara penyuntikannya pada keluarga atau teman terdekat.
2.      Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dapat meliputi pemeriksaan mata, tanda vital dan lain – lain.
3.      Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dapat meliputi gambaran radiologi, EKG, pemeriksaan skrining (dilakukan pada penderita dengan keracunan yang berat atau yang tidak jelas, yang menderita koma, kejang, instabilitas kardiovaskuler, asidosis metabolik atau respiratorik dan irama jantung nonsinus)
4.      Pencegahan Absorpsi Racun
Perlu tidaknya dilakukan dekontaminasi gastrointestinal dan prosedur mana yang akan dipakai, tergantung dari : waktu sejak racun tertelan, toksisitas bahan yang telah & akan terjadi kemudian, availabilitas, efikasi, dan kontraindikasi dari prosedur; serta beratnya keracunan dan resiko komplikasi.Rata-rata waktu terapi dekontaminasi gastrointestinal yang disarankan adalah lebih dari 1 jam setelah keracunan pada anak dan lebih dari 3 jam pada dewasa dari sejak racun tertelan sampai timbul gejala/tanda keracunan.
5.      Pemberian Antidot
Antidot bekerja berlawanan dengan efek racun dengan : menetralisir racun (reaksi antigen-antibodi, khelasi, atau membentuk ikatan kimia), mengantagonis efek fisiologis racun (mengaktivasi kerja sistem saraf yang berlawanan, memfasilitasi aksi kompetisi metabolik/ reseptor substrat tsb.).
Kasus keracunan yang memerlukan antidot spesifik adalah keracunan : asetaminofen, agen antikolinergik,  antikoagulan, benzodizepin, b-blocker, CCB, CO, glikosida jantung, agen kolinergik, sianida, reaksi distonik karena induksi obat, etilen glikol, fluorida, logam berat, hydrogen sulfida, agen hipoglikemik, INH, metHb-emia, narkotik, simpatomimetik, Vacor, dan gigitan/bisa binatang tertentu.

BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Diabetes mellitus merupakan suatu sindrom klinik yang ditandai oleh poliuri, polidipsi dan polifagi, disertai dengan peningkatan kadar glukosa darah atau hiperglikemia (glukosa puasa ≥126mg/dL atau postprandial ≥200mg/dL atau glukosa sewaktu ≥200mg/dL).
Gejala tipikal yang sering dirasakan penderita diabetes antara lain poliuria (sering buang air kecil), polidipsia (sering haus), dan polifagia (banyak makan/mudah lapar). Penatalaksanaan diabetes terapi tanpa obat dengan pengaturan diet, diet yang baik merupakan kunci keberhasilan terapi diabetes. Terapi dengan obat dengan menggunakan insulin dan anibiotik oral seperti golongan sulfonilurea, biguanid, menglinitid, tiazolidimedion, dan penghambat α-glukosidase.
Toksisitas insulin sangat berbahaya. Toksisitas dari overdosis insulin adalah hipoglikemia. Toksisitas sulfonilurea dapat menyebabkan gangguan fungsi hati, yang mungkin menyebabkan jaundice kolestatik, hepatitis dan kegagalan fungsi hati meski jarang. Toksisitas akarbose yaitu flatulensi, tinja lunak, diare (mungkin perlu pengurangan dosis atau penghentian), perut kembung dan nyeri, mual (jarang), reaksi pada kulit dan fungsi hati yang tidak normal.
Penganan bila terjadi toksisitas yaitu penambahan senyawa dari makanan, pemerikasaan fisik, pemeriksaan lanboratorium, pencegahan absorpsi racun dan pemberian antidot.


DAFTAR PUSTAKA
·         www.dechacare.com
·         PHARMACEUTICAL CARE UNTUK PENYAKIT DIABETES MELLITUS. DIREKTORAT BINA FARMASI KOMUNITAS DAN KLINIK DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN DEPARTEMEN KESEHATAN RI 2005
·         Felista,R.A. 2010. Evaluasi Pemilihsn dan Interaksi Obat Asntidiabetic Pada Pasien Diabetes Mellitus di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah Semarang Pada Tahun 2008. Skripsi. Dipublikasikan. Surakarta : Universitas Muhammadiyah Surakarta.
·         Istiqomatunnisa. 2014. Rasionalitas Penggunaan Obat Antidiabetes dan Evaluasi Beban Biaya Perbekalan Farmasi Pada Pasien Rawat Inap Kartu Jakarta Sehat di Rumah Sakit TNI Angkatan Laut Dr. Mintohardjo. Skripsi. Dipublikasikan. Jakarta : Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta








Comments

Popular posts from this blog

MAKALAH Iodo - Iodimetri

Iodo-Iodimetri BAB I PENDAHULUAN I.1  Latar Belakang Titrasi iodometri dan iodimetri adalah salah satu metode titrasi yang didasarkan pada reaksi oksidasi reduksi. Metode ini lebih banyak digunakan dalam analisa jika dibandingkan dengan metode lain. Alasan dipilihnya metode ini karena perbandingan stoikometri yang sederhana pelaksanannya praktis dan tidak benyak masalah dan mudah. Iodimetri adalah jika titrasi terhadap zat-zat reduktor dengan titrasi langsung dan tidak langsung. Dilakukan percobaan ini untuk menentukan kadar zat-zat oksidator secara langsung, seperti yang kadar terdapat dalam serbuk vitamin C. Titrasi tidak langsung iodometri dilakukan terhadap zat-zat oksidator berupa garam-garam besi (III) dan tembaga sulfat dimana zat-zat oksidator ini direduksi dahulu dengan KI dan iodin dalam jumlah yang setara dan ditentukan kembali dengan larutan natrium tiosulfat baku. Dalam bidang farmasi metode ini digunakan untuk menentukan kadar zat-zat yang mengandung oksi

Reseach and Development (R&D)

1.       Departemen Reseach and Development (R&D) Departemen R&D merupakan Inti ( Core ) dari industri farmasi. Penelitian yang dilakukan R&D terkait dengan inovasi produk baru dan perubahan formula produk lama dengan tujuan meningkatkan mutu, stabilitas dan kenyamanan suatu produk.penelitian dan pengembangan terhadap produk selalu dilakukan secara berkesinambungan mengikuti Trend ilmu pengetahuan, teknologi dan regulasi. Dalam pengembangan produk terbagi dalam 3 bagian: 1)       Formulasi Development (ForDev) Formulasi Development (ForDev) bertugas dalam pengembangan formulasi, mentransfer formula ke proses, dan pengembangan produk. Apabila formula tersebut memenuhi syarat , formula tersebuut akan doiserahkan kepada bagian AnDev untuk dianalisa. 2)       Analytical Development (AnDev) Analytical Development (AnDev) bertugas dalam pengembagan analisa produk baik itu bahan baku ataupun bahan tambahan yang telah disusun oleh tim ForDev. Outputnya adalah met